18. Barang Bukti

3.7K 229 1
                                    

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.30 namun Elena masih belum bisa memejamkan matanya. Ia memandangi layar handphonenya , ada sekitar dua puluhan pesan masuk dari Didit. Elena memang belum menjawab pesan Didit mengenai hubungannya dengan Hendra karena menurutnya Didit sudah tidak berhak mengetahui kehidupannya. Namun semakin lama pesan-pesan yang terus masuk mulai mengganggunya akhirnya ia pun membalas pesan Didit. "Temui aku akhir pekan nanti di cafe dekat kampus kita. Tolong jangan terus menerus mengirim pesan karena itu sangat mengganggu." Elena kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Namun selang beberapa menit ada pesan masuk lagi dan ia pun segera membacanya. "Baiklah sampai jumpa akhir pekan nanti, maafkan sifatku yang masih kekanakan. Good Night Elenaku."
Elena menghela nafas panjang dan mencoba memejamkan matanya.
Semenit kemudian ia sudah tenggelam dalam mimpinya.

Sedangkan di apartemennya Hendra masih berdiri di balkon memandang suasana Jakarta yang kian hari kian ramai. Tiba-tiba terdengar pintu yang terbuka. Ia melihat jam di handphonenya sudah menunjukkan pukul 22.15. Yang bisa masuk ke apartemennya selain ia tentu saja ayahnya. Lalu apa yang ayahnya lakukan malam-malam begini. Hendra pun segera berjalan ke ruang tamunya, ia melihat ayahnya sedang duduk di sofa.

"Ada apa pah?"

"Memangnya harus ada apa-apa dulu baru papah boleh kesini?"

"Ya gak seperti itu pah."

"Gimana kantor?"

"Penjualan meningkat pah. Hmm dan operasional berjalan baik."

"Gimana dengan anak itu? Katanya kamu sudah menemukannya."

"Memang sudah."

"Lalu kenapa belum kamu kenalkan ke papah?"

"Dia gak ingat aku pah."

"Ya kamu ingatkan dia. Kalian kan berpisah belasan tahun. Mana mungkin dia ingat. Kamu juga cari dia susah payah sampai-sampai semua mantanmu itu namanya pasti ada Elena nya. Lagipula bagaimana bisa kamu yakin kalau Elena yang ini benar-benar anak itu?"

"Aku melihat foto masa kecilnya."

"Bagaimana bisa kamu lihat foto masa kecilnya?"

"Waktu itu aku menginap dirumahnya dan..."

"Apa?"

"Jangan salah paham dulu pah, ada ibunya kok. Dan kami berada di kamar yang berbeda. Aku gak seperti yang papah pikir kok,tenang aja."

"Kamu memperlakukan dia seperti biasa kan di kantor?"

"Hmm kurasa perhatianku masih dalam batas wajar."

"Dengan memberikan meja baru dan membuatnya seruangan denganmu?"

"Aku hanya ingin lebih dekat pah."

"Tapi kamu tetap harus profesional Don."

"Tapi pah.."

"Kalau kamu terus bersikap seperti ini maka cepat atau lambat akan terjadi masalah di kantor. Dan papah yakin itu akan berdampak cukup besar pada Elena."

"Seperti apa?"

"Dikucilkan rekan kerjanya mungkin."

"Aku gak akan biarkan itu terjadi."

"Ya kita lihat saja nanti. Papah juga mau lihat sebaik apa sih Elena ini. Setahu papah dia memang karyawan yang kinerjanya sangat baik. Tapi papah belum tau bagaimana ia dalam kehidupan sehari-harinya. Apakah dia baik hati? Apa dia penyabar? Apalagi dengan sikap keras kepalamu itu. Semua mantanmu mengeluhkan itu dulu hahaha. Dan yang paling penting dia gak memanfaatkan apa yang sudah kamu punya ini."

White BalloonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang