28. Takdir

7.1K 284 9
                                    

Kakinya memang tidak terluka parah, namun itu tetap membuat Elena harus beristirahat seminggu dirumah.
Hingga hari itu tiba. Hari lamarannya. Sejak pagi tadi Ratih, ibu, om dan tantenya sudah repot memasak untuk tamu mereka. Tidak banyak memang namun cukup membuat heboh seisi rumah. Elena hanya duduk di kamar menatap jendela. Bahkan setelah seminggu berlalu ibunya tetap merahasiakan pria yang akan di jodohkan dengannya. Tapi kalau itu memang Danish maka Elena akan menerima dengan senang hati. Karena menurut Elena cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Walaupun dihatinya masih ada Hendra, ia yakin cepat atau lambat ia akan membuka hatinya untuk calon suaminya nanti.

Pandangan Elena tiba-tiba terpaku pada Danish dan Ratih yang sedang berbicara agak berbisik di samping rumah. Kebetulan itu sangat dekat dengan jendela kamar Elena. Elena jalan berjinjit agar tidak terdengar oleh mereka berdua, lalu ia duduk tepat di bawah jendela.

"Tapi aku gak mau sama dia. Aku maunya sama kamu." Suara Danish terdengar lirih.

"Tapi itu kan keputusan keluarga maka akan sulit di ganggu gugat. Aku gak bisa sama kamu Dan."

"Aku cintanya sama kamu. Aku maunya hidup sama kamu."
Nada bicara Danish mulai meninggi.

"Aku pun begitu. Tapi kita gak bisa berbuat banyak." Kini terdengar isak tangis Ratih.

Elena hanya mampu menutup mulutnya tidak percaya. Ia tidak akan mungkin merebut kekasih saudaranya sendiri pikirnya saat itu.
Lagipula ia juga belum betul-betul membuka hatinya untuk Danish.

Tak lama kemudian ibunya masuk ke kamar Elena. Melihat anaknya sedang duduk di bawah jendela dengan wajah murung maka beliau segera menghampirinya.

"Kamu kenapa?"

"Bu.. orang yang dijodohkan denganku bukan Danish kan?"

"Kenapa memang?"

"Sepertinya kalau orangnya dia aku gak bisa menerima perjodohan ini."

"Loh kenapa?"

"Ya gak bisa aja bu. Aku ngerasa gak cocok aja."

"Oh.. tapi bukan dia kok. Tuh orangnya sudah di depan lagi ngobrol sama om dan tante."

"Apa?"

"Iya makanya cepat ganti bajumu sayang. Kamu harus tampil cantik."

"Tapi bu. Aku ingin dia menerimaku apa adanya. Boleh kah aku tampil begini saja?"

"Tentu. Ayo keluar."
Ibunya menarik tangan Elena menuju ruang tamu. Paman, tantenya sedang bersenda gurau di sana.
Namun betapa terkejutnya Elena ternyata orang yang sedang duduk disana bahkan lebih cocok menjadi ayahnya. Pria itu kemudian tersenyum sumringah pada Elena, ia memperlihatkan giginya yang sudah hilang sebagian. Bahkan pria itu mengedipkan sebelah matanya. Elena bergidik ngeri.

"Elena ayo beri salam." Ucap ibunya lembut. Elena membelalakan matanya.
"Elena mules nih bu." Jawab Elena sekenanya.
Ia langsung melepas genggaman tangan ibunya dan berlari lewat pintu belakang. Kakinya masih terasa nyeri namun ia tetap berlari sekuat yang ia bisa. Baru kali ini ia berani membohongi ibunya. Ia berjalan menyusuri perkebunan. Sampai nafasnya terasa habis.

Tanpa ia sadari bahkan sekarang ia sudah berada di tepian sungai. Elena duduk mengatur nafasnya yang tersengal-sengal itu.

"Ibu sepertinya sudah gak sayang aku. Masa aku di jodohin sama kakek-kakek. Huaaaaa." Elena berteriak melepas seluruh rasa yang kini terasa bercampur aduk di hatinya.

"Bodohnya aku malah ngira orangnya itu Danish." Gerutu Elena kesal. Ia bahkan melempari batu ke air untuk mengurangi rasa kesalnya.

"Aku hanya ingin bahagia. Kenapa kisah cintaku serumit ini. Huaaaa mas Hendra. Aku mau sama mas Hendra aja kalau kayak gini." Teriak Elena kencang.

White BalloonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang