Suara Pertama

142 11 3
                                    

Seorang gadis menatap bayangannya di cermin. Sambil memberenggut kesal, ia mengambil tas di pojok kamarnya. Kemudian langsung pergi keluar kamar menuju lantai bawah, di mana seluruh anggota keluarganya telah berkumpul.

Gadis remaja itu satu per satu menuruni anak tangga. Tepat di anak tangga terakhir, suara tawa langsung menggelenggar di seluruh penjuru rumah. Gadis itu hanya mendengus kesal kemudian menduduki dirinya di salah satu kursi meja makan.


"Sherin, kamu." Tawa kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Sementara gadis yang bernama Sherin menatap dengan sinis laki-laki yang duduk di hadapannya.

"Apa?" tanya Sherin kesal.

"Kamu mau ke sekolah atau mau jadi badut?" tanya laki-laki tersebut.

Sherin memutar bola matanya. "Hmm."

"Tio, kamu jangan ganggu adek kamu sendiri," tegur seorang perempuan yang kira-kira berumur empat puluh tahun.

"Mana bisa, Ma. Habis penampilan Sherin memang cocok kok kalau dijadiin bahan lawakan," ujar Tio. Sherin lagi-lagi mendengus. Sherin paham kalau penampilannya memang layak dijadikan bahan lawakan.

Rambut Sherin yang sebahu harus diikat sepuluh kali dengan warna karet rambut yang berbeda-beda warnanya. Lalu, Sherin juga mengenakkan sepatu dan kaos kaki yang saling berbeda antara kaki kanan dan kaki kiri. Selain itu, di atas kepala Sherin bertengger topi ala penyihir berwarna hitam yang terbuat dari kertas karton. Di depan dada Sherin pun sebuah name tag dengan foto miliknya yang paling alay terpajang besar-besar. Yang paling mengenaskan adalah, Sherin juga harus memoles wajahnya dengan make-up menjadi seperti badut. Tapi satu yang sedari kemaren Sherin pikirkan. Kenapa ia juga disuruh membawa sapu lidi ala-ala penyihir?

Kalau mau jadi badut, ya badut sekalian. Kalau mau jadi penyihir, ya penyihir sekalian. Lah ini. Semuanya diembat. Rakus banget.

"Sher, kamu tahu badut pendek, gendut, kecil yang sering ngangguk-ngangguk sama goyang, gak? Yang sering nongol di lampu merah. Nah, kamu kayak gitu," ejek Tio.

"Bang Tio," geram Sherin.

"Apa cantik?"

Sherin sudah tidak bisa sabar lagi. "Bisa diam gak?"

"Enggak. Hehehehe." Tio menyengir lebar hingga matanya terlihat seperti garis lurus saja.

"Tapi Kak Shelin tetap cantik, kok," ucap Reina, si bungsu dari keluarga Arsetya.

Sherin merasa tersindir alih-alih merasa bangga karena ada yang membelanya.

"Dek Reina, kamu kalau mau ngejek Kakak bilang aja. Gak usah segala muji dulu. Masa penampilan kayak gini dibilang cantik? Kakak tersindir lho," ucap Sherin sambil mengelus dadanya dramatis.

"Kamu yang bilang lho, Sher." Sherin rasanya ingin menendang Abangnya pergi ke Sungai Amazon.

"Dasar Abang laknat."

"Sherin," tegur Ian, Papa mereka kali ini bersuara, "Tio Abang kamu, Sherin."

"Iya, Pa."

Tio memeletkan lidahnya ke arah Sherin. Hal itu membuat Sherin langsung melempar sendok yang berada di hadapannya ke arah muka tengil Tio.

"Astaghfirullah." Tio berjengit kaget karena sebuah benda tiba-tiba mengenai wajahnya yang menurutnya sangat ganteng.

"Sherin, itu bahaya." Kali ini Irin, sang Mama yang menegur.

"Iya Ma, maaf. Lagian Bang Tio duluan yang mulai."

"Tio juga. Kamu jangan gangguin adek kamu terus. Kasihan Sherin," ucap Irin membela Sherin.

SherlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang