Suara Ke-7

42 8 5
                                    

Semenjak kejadian dua hari lalu, nama Shiran sudah menjadi daftar black list Sherin yang paling atas. Setiap mereka tak sengaja berpapasan, bukan senyuman yang diberikan, melainkan lirikan sinis dari Sherin yang dibalas dengan sama oleh Shiran.

Bingung sih, padahal kan Shiran yang salah. Tapi sampai sekarang, belum ada kata maaf yang diucapkan darinya. Yang ada malah Shiran membalas tatapan Sherin dengan sinis, seolah-olah di sini, Sherin lah yang salah. Padahal kan Shiran. Kocah, ah.

"Sheriiiiiinnnnn," teriak Aira dari pintu. Sherin yang tadinya sedang fokus membaca novel, harus teralihkan. Dengan malas dia menoleh ke arah pintu. Lalu mengangkat turunkan alisnya seperti berkata, kenapa?

"Kantin kuy," ajak Aira sambil nyengir.

Sebenarnya sih Sherin sedang mager. Tapi berhubung cacing-cacing di perutnya telah berdemo, mau tidak mau Sherin harus beranjak meninggalkan novel kesayangannya yang tinggal beberapa bab lagi akan selesai dibaca.

"Mau beli apaan?" tanya Aira saat mereka telah sampai di sana.

"Apa ya? Gak tau ah, bingung gue. Lo beli apa?" Sherin malah bertanya balik.

"Apa ya? Mie ayam mau gak?"

"Ayo aja aku mah."

Pada akhirnya, mereka berdua pergi ke kedai Pak Sugi, penjual mie ayam dan membeli makanan tersebut. Saat pesanan telah siap, mereka mencari meja yang kosong di sana. Berhubung sekarang masih jam pelajaran, kantin jadi sepi. Paling hanya ada beberapa siswa yang sedang nongkrong karena jam pelajarannya kosong, seperti Sherin dan Aira.

"Sher, pengen cerita," kata Aira.

"Pasti tentang Arka," tebak Sherin.

"Hooh."

"Kenapa lagi tuh anak?"

"Tadi malem, gue nanya sama dia. Sebenernya tuh gue PHO gak sih antara Arka sama Isma? Dan pas gue tanya hal itu, Arka langsung marah. Dia kesel soalnya gue selalu bahas hal itu. Tapi kan gue cuman ngerasa gak enak aja sama Isma. Gimana ya, ya pokoknya gitu. Apa lagi Isma juga sering nangis kalo ngeliat gue bareng Arka. Tambah gak enak hati lah gue."

"Terus?"

"Terus Arka bilang, gue itu terlalu baik sama Isma. Padahal, katanya gue gak salah. Terus dia bilang, jangan terlalu mikirin soal Isma."

"Tau gak sih Ai, di sini lo gak salah. Lo itu berhak suka sama Arka. Bahkan sampai chat-an kayak gitu. Tapi bagi aku, Isma juga gak salah. Suka sama orang itu hak semuanya. Bisa aja ada ribuan perempuan di luar sana yang suka sama Arka. Apa mereka salah? Enggak, mereka gak salah, seperti yang aku bilang tadi, itu hak mereka. Tapi Aira juga jangan terlalu baik sama Isma. Ismanya juga yang lebay sih. Sampe nangis-nangis gitu."

"Iya sih, bener. Tapi tetep aja Sher, di sini tuh gue ngerasa jadi orang jahat. Gue kayak tokoh antagonis tau gak? Gue bingung."

"Ish dibilangin, lo jangan sering-sering ngerasa kayak gitu. Nanti juga Isma sadar sendiri. Udah apa, mending lo jalanin aja dulu antara lo sama Arka. Kayak yang Arka bilang, Isma jangan terlalu dipikirin. Yang ada nanti lo tambah terbebanin."

Aira termenung. "Iya deh."

"Nah gitu dong." Sherin tertawa. "Btw tadi gue kesambet apaan ya sampe bisa ngeluarin kata-kata kayak gitu?"

Aira dan Sherin pun tertawa bersama.

"Sstt, sstt," desis Sherin pelan.

Aira mengangkat kepalanya dan menatap heran Sherin.

"Sstt, sstt," balas Aira.

"Di belakang lo, ada Arka baru masuk ke kantin," ucap Sherin memberitahu.

SherlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang