Mungkin memang benar, ada kalanya sebuah perasaan tidak harus selalu dipendam sendiri. Ada masanya bagi kita untuk memberitahukan hal tersebut pada orang lain, khususnya untuk orang yang ditujukan. Tujuannya bukan semata-mata hanya untuk mencari kepopularitas yang akan memunculkan isu-isu tidak penting, melainkan hanya untuk membuat hati merasa lebih lega.
Semua orang pun tahu, tidak ada yang menyenangkan dari menyimpan rasa sakit seorang diri tanpa diketahui oleh si penyebab rasa sakit itu. Setidaknya, dengan orang tersebut mengetahuinya, kita akan merasa lebih dihargai. Lebih dihargai sebab keberadaan kita dan keadaan hati kita itu ada di dunia ini, tersembunyi di antara miliaran manusia lainnya. Dan seseorang itu pun pada akhirnya akanenyadari keberadaan kita.
Sherin baru saja berpikir demikian. Di depan buku Biologinya yang terbuka lebar tanpa terbaca, pikiran Sherin bercabang kemana-mana, ia memikirkan tentang kemungkinan-kemungkinan jika saja ia memberitahukan Shiran tentang keberadaan hatinya. Apakah semua pada akhirnya akan berakhir sama dengan apa yang ia bayangkan? Atau bahkan tidak?
Kemungkinan-kemungkinan itu lah yang membuat Sherin harus memperhitungkan banyak hal. Tentang masa depan yang selalu menjadi misteri bagi semua manusia. Jika Sherin diberi kekuatan ajaib, Sherin ingin rasanya meloncat ke masa depan agar ia bisa tahu apa yang akan terjadi nantinya. Sehingga ia bisa membuat keputusan tanpa harus merasa menyesal di kemudian hari.
"Wassalaimualaikum."
Guru di depan kelas telah keluar kelas. Ucapan salam itu langsung membuat Sherin mengerjapkan mata. Pusaran waktu yang tiba-tiba membuat Sherin langsung kelimpungan sekejap. Kini wajah Sherin menampakkan wajah orang yang kebingungan.
"Ra," panggil Sherin kepada Ara yang sekaligus sebagai teman semejanya.
Ara menoleh ke arah Sherin. "Kenapa?"
Sherin menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. "Emang pelajarannya udah selesai ya?"
Ara menyentil dahi Sherin. "Udah dari tadi kali. Gak fokus melulu sih lo. Fokus, Sher."
Sherin menyengir lebar. Untuk menyembunyikan kebingungannya, Sherin pun mengajak Ara untuk ke toilet. Ara mengiyakan, sehingga mereka berdua berdiri bersamaan dan pergi keluar kelas.
Saat akan menuruni tangga, mereka tidak sengaja berpapasan dengan dua orang yang sangat mereka kenal. Jantung Sherin langsung berdegup kencang karena salah satu dari dua orang itu. Untuk menutupi wajah gugupnya, Sherin menampilkan wajah yang pura-pura tidak peduli dengan kedatangan mereka.
"Ara, Sherin," sapa mereka berdua.
Sherin dan Ara pun menatap mereka. "Eh, Shiran, Arsa," sapa mereka balik sekilas.
Setelah itu Shiran dan Arsa pun kembali melangkah ke arah yang berlawanan dengan Sherin dan Ara. Begitupun dengan dua anak laki-laki itu, Sherin dan Ara pun juga kembali melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti untuk ke toilet. Sherin menyempatkan untuk menengok ke belakang, lebih tepatnya untuk melihat Shiran lagi yang sedang bercanda dengan Arsa.
"Cie, disapa Shiran," ledek Ara sambil menyenggol bahu Sherin.
Sherin terkekeh. "Ish, apaan sih. Biasa aja kali," balasnya sambil menoyor kepala belakang Ara dengan pelan.
"Salting ya?"
"Hehe."
***
Saat pergantian jam pelajaran, Mario berseru di depan kelas mengatakan bahwa guru yang saat ini seharusnya mengajar lagi-lagi tidak bisa hadir. Sebab itu lah kelas langsung ricuh. Mereka semua langsung melakukan rutinitas mereka masing-masing seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherlan
Teen Fiction"Kisah kita memang hanyalah sebentar. Tetapi kenangan yang kamu ciptakan akan selalu terkenang untuk selamanya di hatiku." *** Berawal dari kasus Sherin yang susah move on dari Ares, membuat Sherin terpaksa mencari pelarian ke sosok laki-laki bernam...