Suara Ke-24

19 3 0
                                    

Jingga di pagi hari selalu menyenangkan. Ketika bulan dan matahari akhirnya bisa bersitatap lagi meski hanya untuk sesaat. Kicauan burung selalu menjadi melodi indah dan asap polusi bukan lagi sebuah penghancur.

Pagi ini Sherin datang terlalu pagi. Kakaknya harus pergi pagi-pagi sekali ke kampusnya. Ada acara mendadak, katanya. Sherin sih tidak peduli yang dimaksud acara mendadak itu apa. Alhasil, ia harus pasrah untuk sampai di sekolah jam 6 kurang 15. Aih, bahkan di waktu segini sekolah serasa tengah malam. Untung saja ada beberapa petugas kebersihan yang mondar-mandir di sekeliling lorong.

Setelah menaruh tas, Sherin memutuskan untuk keluar kelas dan berdiri di pinggir balkon. Menatap jingga yang semakin lama dimakan putih. Merasa menemukan momentum yang pas, ia pun mengeluarkan sebuah pena dari dalam sakunya. Dan di atas telapak tangannya, ia merangkai beberapa kata.

Ketika jingga tak lagi bahagia, masih kan ada gelap yang menenangkan. Tatkala sunyi menemani, bising pun luruh dalam kesedihan.

Sherin membaca ulang kalimat singkat itu. Setelah mencermatinya lagi, ia pun menggeleng. Sherin menghembuskan napas. Kemudian ia pun menghapus tulisan tersebut sebisanya sampai hanya tersisa jejak hitam.

Pandangan Sherin mengarah ke bawah. Satu dua orang mulai melangkah melintasi lapangan, menuju kelas mereka masing-masing. Tapi seseorang yang ia cari tidak juga terlihat. Mungkin ia sekarang sedang menjadi matahari, masih malu-malu untuk muncul di ufuk langit, atau merasa malas untuk menerangi dunia.

Sherin melirik jam tangannya. Sudah jam 06.10. Seharusnya beberapa temannya sudah ada yang datang. Sherin malas lama-lama berdiri seperti orang bodoh yang sedang galau. Akhirnya ia pun memutuskan untuk masuk lagi ke dalam kelas dan mungkin melanjutkan beberapa halaman novel yang sedang ingin ia tamati.

Baru membaca sepenggal kalimat, ketukan pada pintu kelas terdengar. Sherin pun mengalihkan pandangan dari deretan kata di depannya. Saat sudah melihat siapa yang datang, Sherin langsung cengar-cengir. Ternyata Mario yang datang. Melihat cengiran Sherin, Mario langsung menaruh tasnya di atas meja miliknya dan melenggang pergi.

Lengkungan Sherin pun langsung menukik ke bawah laksana pesawat kertas yang tertiup badai. "Mar, kan itu udah dari kemarin-kemarin. Masa marahnya sampai sekarang?"

Mario hanya mendelik singkat pada Sherin dan langsung pergi keluar kelas. Sherin pun tertawa dibuatnya. Temannya ini memang enak banget buat dijahilin.

Jadi, saat lomba kemerdekaan RI sedang berlangsung, lebih tepatnya saat kelas mereka selesai bertanding lomba tarik tambang, Sherin tidak sengaja menonjok Mario karena kelasnya kalah dari kelas lain. Itu Sherin beneran enggak sengaja, lho, nonjoknya. Itu hanya refleks karena ia gemas dengan Mario yang seperti tidak berniat saat menarik seutas tali itu. Lalu tanpa sadar sebuah kepalan tangan pun mampir ke pipi kanan Mario. Karena kejadian itu, sampai sekarang Mario menjadi marah kepadanya. Temannya yang satu ini memang baperan dan melankonis.

Tapi tidak lama waktu berselang setelah kepergian teman Sherin yang baperan itu, Mario kembali lagi ke kelas dengan Arka di sisi tubuhnya. Oh, mungkin gara-gara ada Arka, Mario jadi balik lagi kelas hahaha, batin Sherin. Sherin tersenyum jahil.

"Jadi masih kesal nih, Mar? Gue udah minta maaf berkali-kali, lho," ujar Sherin.

Mario meliriknya. "Males. Ngapain maafin Sherin. Gendut!" ledek Mario.

"Wahhh, nih orang ngajak ribut. Pengen gue tonjok lagi ya? Apa mau gue pukul pake botol minum? Silahkan tinggal pilih," seru Sherin dengan tatapan sangar seakan-akan ingin memakan Mario.

"Enggak elah, Sher. Bercanda. Sherin kurus, kok. Kayak lidi malah," kata Mario sambil tertawa.

Tanpa diduga, sebuah buku pun langsung melayang di langit-langit kelas pada pagi hari dan mendarat tepat di atas kepala Mario.

SherlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang