Suara ke-10

18 4 2
                                    

Satu tahun kemudian....

Satu tahun telah berlalu. Kisah lama akan berganti dengan kisah baru. Lalu bagaimana dengan hati? Hei, tahun baru harus berubah. Jangan ada lagi patah hati di tahun-tahun selanjutnya. Sudah tidak zaman, kalau kalian bertanya kenapa.

Hati Sherin. Sudah berubah. Tidak ada lagi galau-galau receh hanya karena tidak bisa move on dari sosok laki-laki aneh bernama Ares. Justru, hatinya kini sudah tumbuh bunga baru yang pastinya lebih indah. Bunga lama mati, bunga baru menggantikan. Begitulah kira-kira.

Shiran. Ketika nama itu disebut, getaran-getaran aneh muncul di hati kecil Sherin. Ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada perasaan gejolak yang memenuhi dirinya. Tanpa Sherin sadari, satu tahun sudah merubah banyak hal, termasuk perasaannya pada Shiran yang semakin lama semakin tumbuh. Tidak ada lagi kata hanya sebatas 'tertarik' untuk mendeskripsikan perasaan Sherin kepada sosok laki-laki itu. Semua sudah berubah, menjadi sesuatu yang lebih berarti dari itu semua. Cinta.

Satu tahun ia menyimpan perasaan itu rapat-rapat. Tidak ingin hal itu akan terbongkar. Bisa berbicara meski singkat dengannya sudah lebih dari cukup bagi Sherin. Meski Shiran tidak tahu perasaan ini, Sherin sudah bahagia. Setidaknya tidak ada yang berubah di antara mereka. Tetap menjadi Sherin yang mencintai Shiran diam-diam, dan tetap menjadi Shiran dengan kisahnya sendiri yang masih menjadi misteri untuk Sherin.

Mencintai seseorang diam-diam itu menyenangkan, dan tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dibanding itu semua ketika sedang jatuh cinta, jawaban Sherin jika ditanya mengapa ia bisa sangat sabar.

Perasaan ini, mungkin hanya ia dan Tuhan yang tahu. Oh, jangan lupakan Aira, yang dulu sempat ia beritahu. Tapi Sherin ragu kalau Aira tahu kini perasaannya sudah tumbuh menjadi sesuatu yang istimewa.

"Shelin."

Tadinya Sherin sedang berjalan sendirian di koridor bawah depan kelas 10. Sherin ingin pergi ke perpustakaan untuk mengambil buku sejarah milik Bu Angga yang tertinggal di sana. Sampai sebuah sapaan dari seseorang yang ia kenal menyapanya dari sisi lain koridor.

Sherin tersenyum simpul. Sambil menaham getaran di hatinya, ia menyapa balik sosok itu. "Eh, Shiran."

"Wah, lo bolos ya?" tanya Shiran bercanda.

Sherin mendelik kesal, tapi tak ayal hatinya berteriak kegirangan karena baru saja diajak ngobrol oleh Shiran. "Ih, enggak. Gue tuh mau ke perpus buat ngambil bukunya Bu Dewi."

Shiran tertawa kecil. "Percaya kok, pelcaya."

Duh, ademnya.... Coba aja bisa kayak gini tiap hari.

"Gue duluan ya."

"Eh." Sherin segera kembali dari dunia khayalannya. Ia sedikit menunduk malu, takut Shiran menyadari tingkah anehnya. "Iya, gue juga."

Lalu akhirnya mereka berpisah. Sherin segera melanjutkan langkahnya. Tapi sebelum itu, ia menengok ke belakang sebentar sampai melihat Shiran yang berbelok ke koridor kanan. Mungkin ia ingin balik ke kelasnya.

Sherin menghela napas. Sabar, Sher. Tenang aja. Lo akan tetap bertahan meski dia gak tahu perasaan ini.

***

Bel istirahat telah berbunyi sejak 5 menit yang lalu, tapi sepertinya guru yang sedang mengajar di kelas XI IPA-1 belum juga ada tanda-tanda ingin mengakhiri jam mengajarnya.

SherlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang