Serenity

14 3 0
                                    

Hari itu malam sudah menjelang.Langit hitam seperti tinta melayang seperti kanvas kosong nan hampa.

Aku mendesah.

Namaku Ruth Morge. Umurku 20 tahun, dan aku bekerja di suatu kedai kopi di wilayah Avondrust barat.

Tiap hari aku ditugaskan untuk menjadi penjaga kasir, melakukan hal-hal pembayaran dan semacam itu  Aku tidak punya orang tua. Aku tinggal bersama bibi dan pamanku yang sudah menginjak usia lanjut.

Mereka hidup dari hasil gaji pensiunan. Dan kini setidaknya aku sudah bisa membantu mereka dengan penghasilanku yang pas-pasan.

Semuanya berjalan cukup lancar di kafe itu. Sampai pada suatu malam, saat kafe hampir ditutup, teman-temanku yang lain sudah bersiap pulang, kejadian itu terjadi.

"Aku pulang dulu, Ruth," sahut Sarah dari meja konter lalu meninggalkan kafe.

Aku menunduk sambil berusaha mengelap meja terakhir sebelum pulang.

Kini hanya aku seorang diri di sini. Aku membersihkan meja terakhir lalu menuju loker di belakang untuk mengambil ransel.

Rasanya seharian ini aku sudah bekerja cukup banyak, dan kini energiku sepenuhnya habis. Kumasukkan potongan bajuku ke dalam ransel dan mengenakan jaket, karena malam ini suhu di luar akan sangat dingin.

Aku berjalan hampa ke dapur dan mengambil ransel di loker, memakai jaket dan beranjak keluar. Malam ini udara berhembus liar, langit gelap mencekam bagaikan bayang-bayang hitam yang menyelubungi tubuhku. Hanya ada aku sendirian di blok ini, dan kupikir lumayan berbahaya untuk berada di luar.

Aku mengunci pintu dan berjalan meninggalkan kafe. Rumahku hanya ada beberapa blok ke depan, dan melewati gang sempit. Sayangnya aku tak pernah pulang pada jam begini.

Aku berjalan sambil mengaduk-ngaduk tas, berusaha mencari kunci rumah yang kuselipkan dalam dompet.

BRUKK!!

Aku menabrak sesosok tubuh. Dengan seketika aku menjatuhkan ranselku. Semua isinya jatuh dan terhambur keluar. Aku mendesah dalam hati dan segera memungutnya. Baru saja aku menunduk, pikiranku sudah melayang ke sosok di depanku.  Tubuhnya tinggi. Gelap. Cahaya samar-samar tersematkan di balik tubuhnya yang kekar. Atletis dan mengerikan. Ia mengenakan jaket biru bertudung. Rambut kuning emasnya menyelinap dari balik tudung.

"Er.. Maaf."

Sial. Suara seorang pria. Kedengarannya dingin dan dalam.

"Tak apa."

Segera aku menunduk dan memasukkan barang-barangku ke dalam ransel. Ia ikut membantu, memasukkan beberapa catatan-catatan penting.

Setelah semuanya masuk aku berdiri, memperhatikan wajahnya yang gelap tertutup tudung.

"Maafkan aku."

Ia membuka tudung, memperlihatkan wajahnya yang tak sempat aku perhatikan baik-baik. Tapi saat cahaya lampu jalan mulai meremang ke mukanya, aku melihat sesosok pria tampan berdiri di hadapanku. Wajahnya putih bening seperti gading, mata hijau muda zaitun menatapku dengan tenang. Rahangnya yang tegas nampak kuat dan rileks. Aku seperti melihat sesosok dewa sekarang.

Hatiku mencelos.

"Tak apa, aku baik-baik saja." Aku berusaha membuka mulut tanpa mengeluarkan air liur.

Ia tersenyum kecil lalu mengangguk pelan.

"Baiklah kalau begitu."

Aku menunduk tersipu malu dan merasa gugup seketika. Jantungku memacu.

Hostoire CourteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang