DAQUINSHA

36 5 8
                                    

  --> Nama pengarang : Dentinia Ulfatin
--> Tema : Merajut Asa bersama Scrittore (Perjuangan)
--> Judul : DAQUINSHA
--> Genre : General Fiction
--> Rate : PG-13  

***

DAQUINSHA

Tangan putih nan mungil milik gadis bertubuh kecil ini memegang erat pena dan terus menggoreskan tinta ke kertas putih, tulisan demi tulisan tercipta di sana. Tiba-tiba kertas itu perlahan menjadi basah, lantaran air matanya jatuh satu per satu.

"ARGHHH!!!"

Jemarinya terus bergetar, ia meremas dengan kuat kertas yang tadi ia gunakan untuk menitikkan tinta. Tangisnya semakin menjadi kala itu dan teriakan dari mulutnya bertubi-tubi mengeras hingga memenuhi ruangan.

Pengunjung cafe yang di dalam dan baru masuk masuk pun seketika menoleh ke arah gadis yang kacau ini dan menatapnya penuh ketakutan--terihat dari ekspresi dan tatapan mata mereka.

Dia yang sadar menjadi pusat perhatian langsung mengemasi barangnya dan keluar meninggalkan cafe itu. Disaat yang bersamaan pula, air hujan tiba-tiba turun sangat deras membasahi dirinya. Seakan tak sadar jika telah hujan, ia terus berjalan menerobos derasnya guyuran air yang jatuh dan angin yang berhembus kencang.

Air mata itu bercampur dengan air hujan, ini cara terbaik agar orang-orang tidak tahu jika ia sedang menangis. Diusapnya bekas air mata yang masih tersisa di bawah mata dengan kasar.

"Bego! Leva, lo itu be-" gumamnya pelan dan tangisannya semakin keras, tangannya menepuk-nepuk dada yang menahan sesak. Ya, Leva namanya--begitu orang yang mengenal menyebutnya.

Setelah lama bergumul dengan hujan, tibalah di rumah--yang ia anggap sebagai neraka pertama sebelum di akhirat nanti.

***

Leva memasuki ruangan megah berdinding marmer itu, berlari menghampiri kedua orang tuanya yang sudah menunggunya. Dipeluknya Ayah dan Ibunya dengan erat sambil terisak kecil.

"Gimana?" tanya Ayahnya dengan mata berbinar penuh harapan.

Hanya gelengan kepala yang saat ini bisa Leva lakukan. Ia terlalu takut untuk membuka suara. Ia sudah membuat semuanya kecewa.

PLAKKK

"Dasar anak bodoh!" ucap seorang lelaki berumur yang berperawakan besar dan tinggi.

"Yahhh," rintih Leva pelan menahan sakit dibibirnya yang sudah mengeluarkan darah akibat tamparan keras yang baru saja dilayangkan Ayahnya.

"Apa?!" teriak Ayahnya sambil mendorong keras Leva yang bergelayut di kakinya hingga terjengkang ke belakang dan terbentur tembok.

"Tapi, Yah-" Belum sempat Leva menyelesaikan ucapannya ayahnya sudah memotong.

"Tapi apa?! Ayah seperti ini, cuma ingin supaya kamu berubah! Udahlah, kamu itu nggak bisa di situ. Ayah udah berapa kali bilang sama kamu." Ayahnya menatap iba putri semata wayangnya namun, tetap saja ia ingin melakukan yang terbaik untuk anaknya. Mana ada orang tua yang ingin anaknya sengsara. "Sekali lagi Ayah peringatin kamu. Jangan. Pernah. Lagi. Menulis. Ingat, ucapan Ayah ini!"

Tak hanya berhenti di situ pukulan ayahnya semakin membabi buta, baju Leva di robek dengan kasar di bagian lengan. Leva diseret dengan kasar menuju kamarnya.

"Lepas, Yah. Sakit," gumam Leva sambil memegang tangannya yang sudah merah dan memar akibat cengkraman tangan ayahnya yang sangat erat.

"Kalau udah tau bodoh itu, gak usah diulangi. Ngerti gak, sih?!" Ayahnya menunduk menatap Leva. "Jadi anak nurut sedikit kamu itu!"

Setelah sampai di kamar, Leva dikunci dari luar. Gadis rapuh itu menggedor-gedor pintu kamarnya minta dibukakan. Tetap saja tidak ada respon apapun dari luar.

"Yah. Ayahhh!" teriak Leva memukul-mukul pintu yang terbuat dari kayu jati.

"Siapa pun yang di luar, tolong buka pintunya." Suara Leva melemah, tenaganya tak sebanyak itu untuk melawan ayahnya, maka ia pun menyerah.

Ia terduduk di sudut pintu, lututnya yang tertekuk ia gunakan untuk menopang wajahnya yang tertelungkup menahan tangis dan sesak di dada.

***

Sekelebat bayangan peristiwa lima bulan yang lalu berkumpul memutari isi kepala Leva. Kejadian itu murni bukan kesalahan Ayahnya dan Leva, entah salah siapa. Namun, peristiwa kala itu yang paling membuat Leva tertekan.

Ayah Leva kunjung marah besar ketika berulang kali Leva kalah dalam perlombaan menulis dan selalu ditolak oleh penerbit jika mengirim naskah. Hal itu cukup membuat uang puluhan juta melayang demi mencukupi kebutuhan untuk menulis. Ayahnya sebenarnya tak masalah jika harus kehilangan uang sebanyak itu demi anaknya, tapi jika tidak ada hasilnya itu terasa sia-sia.

Ayah Leva geram, pasalnya ia berpikir bahwa Leva tidak berpotensi dalam bidang itu. Maka dari itu, Ayahnya melarang Leva lagi untuk menulis dan segera mencari bidang lain.

Sedangkan Leva sendiri tak ingin lari dari kegagalan itu, mungkin benar akibat mencukupi kebutuhan untuk menulis Leva, orang tuanya bertengkar lantaran masalah keuangan yang menipis sementara pengeluaran semakin besar. Bukan ini yang Leva mau. Leva tak tahu harus bagaimana, ia suka menulis walau selalu gagal, tapi ia juga tidak ingin membuat orang di sekitarnya kecewa karena dia.

Hujan sudah mulai mereda dengan sendirinya. Ia duduk di atas kasur dan selimut tebal berbahan wol melingkupi badan kecilnya. Matanya menatap keluar jendela, tetesan air hujan begitu apik nan teratur. Jendela yang terbuka lebar membuat angin berhembus masuk ke dalam kamar Leva, dan menggerakkan beberapa helai rambut yang mencuat keluar dari kuciran asal-nya.

Terkurung dalam kesendirian itulah yang dirasakan Leva selama ini. Ia masih menulis setelah kejadian itu, mencoba memperbaiki semuanya--termasuk memperbaiki tulisannya dan memperbaiki keharmonisan keluarganya.

Ubun-ubun Leva tiba-tiba berdenyut kenyang menyeluruh ke seluruh kepala. Dipijatnya kedua pelipis dengan tangannya secara perlahan, tetap saja tidak mereda malah menambah rasa sakit. Tangan kanannya dengan cekatan menjulur ke laci di sebelah tempat tidurnya, ia buka laci paling atas dan menemukan botol berwarna putih polos bertuliskan Escitalopram. Dibukanya dengan cepat botol itu dan dikeluarkan isinya--yang berupa pil berwarna putih.

Setelah kejadian buruk yang menimpa Leva, tak henti-hentinya dia sering merancau tidak jelas, marah-marah tanpa sebab, dan menangis lalu menarik-narik kasar rambutnya hingga terkadang sampai rontok. Dari situ Leva mencoba memeriksakan keadaan tubuhnya ke rumah sakit. Ternyata ia di diagnosa memiliki gangguan mental berupa post-traumatic stress disorder atau biasa disebut PTSD.

Pil itu adalah pil anti-depresan. Tanpa pil itu mungkin keadaan Leva sudah kacau bahkan gila, hidupnya sangat bergantung pada pil itu.

Drttt drttt. Terdengar getaran seluler milik Leva yang menandakan ada pesan masuk. Sudah beberapa hari ini Leva tidak menyentuh ponselnya. Dicarinya benda persegi panjang nan tipis itu di kasur, benda itu terselip di kolong tempat tidur.

Ada dua puluh dua pesan masuk ke seluler Leva. Namun, ia tak berminat sedikit pun untuk membukanya. Ia malah beralih ke aplikasi chatting bernama LINE. Terdapat sembilan ratus sembilan puluh sembilan plus pesan yang rata-rata berasal dari broadcast OA. Pesan pada baris pertama cukup membuat Leva penasaran dengan isinya.

Scrittore

Open member !!!

Mari bergabung menjadi keluarga scrittore dan belajar tentang kepenulisan dan graphic bersama. Disinilah tempatnya para penulis dan artworker mengembangkan bakatnya.

Segera daftarkan diri kamu. Hanya sampai hari ini.

"Belajar kepenulisan," gumam Leva pelan sambil memahami maksud dari pesan tersebut karena ini pertama kalinya Leva mengetahui hal semacam ini.

Mungkin dengan begini aku bisa membuktikan ke Ayah dan Ibu kalau aku bisa, batin Leva berbicara sembari mengangguk-anggukan kepala.

"Hari ini terakhir, aku harus cepat-cepat daftar, nih," ucap Leva mencermati isi pesan itu.
Setelah menjalankan semua persyaratan yang di minta, Leva pun mendaftarkan dirinya menjadi member di scrittore.

"Semoga aja ini nggak sia-sia." Leva tersenyum tipis. Sepertinya ini senyuman pertama kali Leva setelah kejadian lima bulan lalu.

***

"Eh gue balik duluan ya," ucap Leva sembari membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja.

"Kenapa sih buru-buru banget, tumben," jawab Poppy yang melihat temannya tergesa-gesa.

"Gue ada urusan penting." Leva menutup resleting dan bersiap menggendong tasnya.

"Nulis lagi?" tanya Andine--yang juga teman sekelas Leva. Andine melirik sinis temannya itu.

Leva terdiam tak bisa berkata apa-apa. Pertanyaan Andine membuat ia kalah telak. Ibarat senapan tepat pada sasaran.

"Eeee ... nganu. I-iya." Mata Leva melihat ke tanah, dia tidak berani melihat wajah teman-temannya.

Andine yang sudah kebawa emosi pun berdiri dari kursinya menghampiri Leva. Leva pun langsung bergerak mundur menjauhi Andine, ia terlalu takut jika Andine sudah emosi. Ia tak mau kejadian seperti waktu itu terulang lagi. Kejadian di mana Andine memaki habis-habisan Leva karena hobby menulisnya yang membuat-nya gagal.

Bukan hanya memaki sepertinya, tapi juga memukul seperti apa yang dilakukan Ayahnya kepadanya. Jangan. Jangan kalian berpikir bahwa Andine jahat. Andine begitu karena ingin yang terbaik untuk Leva dan Leva tau akan hal itu. Tapi, bagaimana pun ini jalan Leva, menurutnya gagal bukan berarti tidak bisa tapi belum.

Andine tahu jika Leva takut padanya, dari pergerakannya sedari tadi membuat Andine peka terhadap hal itu. Dipegangnya kedua bahu Leva lalu berkata, "Udah berapa kali gue bilang sih," Andine membuang napas dengan kasar, "lo enggak ingat? Apa yang bakalan terjadi kalo lo nulis lagi?" sambung Andine yang tanpa sadar air matanya jatuh membasahi pipinya lantaran melihat Leva yang sudah menangis karena perlakuannya. Diangkatanya kedua tangannya yang berada di pundak Leva.

"Gue ... gue nyerah kalo itu pilihan, lo. Gue kaya gini cuma mau ngelindungin lo, biar orang tua lo gak terus-terusan nyiksa elo cuma gara-gara kegiatan nulis lo," -Andine kembali ke meja mengambil tas-nya- "gue balik."

Poppy yang sedari tadi hanya terdiam duduk melihat kedua temannya beradu argumen kini bangkit menghampiri Leva yang sudah menangis.

"Va, gue mohon juga sama lo, pikirin baik-baik omongan Andine." Poppy menepuk bahu Leva menenangkan Leva dari tangisannya. Poppy memeluk Leva erat, ia sedih melihat kedua sahabatnya begitu. Tapi, ia bukanlah orang yang dengan mudahnya memperlihatkan kesedihannya di hadapan orang lain.

Leva dan Poppy pun beranjak pergi meninggalkan sekolah yang mereka gunakan untuk menuntut ilmu. Tempat di mana mereka--Leva, Poppy, dan Andine menjalin tali pertemanan yang bernama persahabatan.

***

Sesampainya di rumah, Leva langsung berlari ke kamarnya ia menangis sejadi-jadinya. Ucapan Andine tadi terus berputar di kepala Leva, membuat ia tak karuan. Dadanya sesak, ia bingung harus bagaimana. Pikirannya bimbang dan harapannya sedang terambang-ambang.

"ARGHH!" teriak Leva mengeluarkan segala emosinya. Ada dua pihak yang tak ingin ia kecewakan hanya karena ia lebih memilih menulis dibanding mereka--orang tua dan sahabat tercinta-nya.

Ia terlalu frustasi untuk memilih. Keadaan Leva semakin kacau di tambah ia mulai merancau tak jelas.

"Asdfghjkl...," gumam Leva tak jelas sambil melempar bantal yang ada di kasurnya ke lantai.

Jika sudah seperti ini bisa dipastikan bahwa kondisi Leva sedang tidak baik-baik saja. Leva mulai menjambak-jambak rambutnya dengan kasar. Ia tak tahu harus bagaimana.

Setelah beberapa menit kegiatan menarik rambut itu. Kini berganti, Leva mengambil silet kecil dari dalam tasnya. Ia gunakan silet itu untuk menyayat kecil lengannya. Mulai dari lengan kirinya yang sudah tercipta lima sayatan. Ia meringis melihat tangan kanannya mengiris lengan kirinya.

Ia sadar tapi ia tidak bisa mengendalikan pikirannya saat ini. Ia terlalu lelah dan pasrah. Darah merah mengalir membasahi lengan Leva hingga mengenai seragamnya.

Tak lama kemudian kepalanya terasa sakit. Tangannya yang dari tadi memegang silet langsung membuang silet itu ke lantai dan memegang kepalanya yang sudah sakit bukan main.

Leva langsung mengambil botol obatnya dan memgambil dua butir pil escitalopram dari dalamnya. Dengan sekali tegukan pil itu sudah masuk ke dalam perut Leva.

Kedua tangannya yang tadinya memegang kepalanya kuat-kuat kini ia turunkan. Keadaanya sudah sedikit membaik, pikirnya. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Tak terasa malam sudah muncul, begitu lama reaksinya menganggu jiwa Leva.

Dengan cekatan ia mengambil selulernya. Dibukanya aplikasi LINE di mana grup scrittore berada. Ini hari pertama dia berada di grup itu. Malam ini jadwalnya materi kepenulisan, Leva menyimak apa yang dibawakan pemateri dengan seksama.

-------

LINE

Isabel : Oke kali ini admin materi akan memberi kalian materi tolong di simak baik-baik ya.

Kila : Oke kak.

Levansha : Iya kak.

Ibram : Iya.

Rini : Apasih dialog tag itu? Dialog tag adalah frase yang mengikuti dialog, yang mengiformasikan identitas si pengucap dialog. Paham ?

Revi : Paham kak.

Nusa : Iya, paham.

Rini : Oke lanjut ya.

Isabel : Setelah materi, kita akan melakukan kegiatan pesan kalbu. Yey. Jadi, di pesan kalbu ini kita--pihak scrittorr ingin bertanya pada kalian. Apa alasan kalian bergabung dengan scrittore?

Leva : Kalau aku, karena ingin membuat mimpiku menjadi nyata. Serta, menunjukkan pada kedua orang tuaku bahwa aku bisa. Karena mereka nggak menyetujui kalau aku masih menulis.

Rini : Sedih ya geng.

Nusa : Sabar, Lev.

Isabel : Semoga scrittore bisa bantu kamu mewujudkan harapan kamu ya, Lev.

-------

Leva mulai memahami pelan-pelan. Banyak hal yang ia dapatkan hari ini tentang dialog tag.

Beberapa kali pertemuan yang Leva ikuti dalam grup membuatnya sedikit demi sedikit mengerti akan materi yang ia peroleh dari grup scrittore, dan itu sangat membantu Leva yang buta ilmu kepenulisan.

***

Sudah hampir setengah tahun Leva bergabung dengan grup scrittore. Itu berarti ilmu yang ia dapatkan sudah bertambah banyak tentang dunia kepenulisan. Ia berniat memulai lagi untuk membuat cerita setelah melihat artikel yang mengumumkan tentang perlombaan yang jika menang hadiahnya adalah naskahnya akan diterbitkan, dan menurut Leva ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan karena ini waktunya Leva membuktikan.

Semua prosedur telah dipahami oleh Leva. Kini ia akan mulai proses menulis naskah yang bertema merajut asa, karena itu persyaratan yang diajukan oleh pihak yang mengadakan lomba.

Tiga bulan lamanya. Leva akhirnya berhasil menyelesaikan naskah ceritanya. Ia pun mengirim pada pihak perlombaan sambil menunggu harap cemas hasil seleksi. Ia berharap semoga hasilnya tidak mengecewakan, scrittore telah banyak memberinya pelajaran penting yang membuat Leva tahu akan banyak hal yang selama ini buta ilmu.

Tepat pada hari ini, pengumuman itu di pasang di media sosial. Dengan cekatan namun juga takut, Leva membuka pengumuman itu. Air mata Leva seketika jatuh berkucuran, kedua sudut bibirnya mengembang membentuk senyuman. Pasal-nya nama Leva tercantum sebagai juara satu dan itu artinya naskahnya juga akan diterbitkan. Bahagia bukan main perasaan Leva saat ini.

"Alhamdulillah," ujarnya sambil memeluk erat seluler miliknya.

Proses penerbitan itu memakan waktu sebanyak lima bulan. Hingga jatuh pada hari ini beberapa eksemplar bukunya mulai dipasarkan di beberapa toko buku, seperti Gramedia. Tawaran untuk menjadi bintang tamu launching buku perdananya membludak, hingga Leva sendiri kewalahan.

Leva sudah menentukan jadwalnya sebanyak sepuluh toko buku yang akan dihampirinya setiap minggunya. Ia tidak memberi tahu siapa pun tentang keadaanya yang saat ini. Leva tidak ingin orang tuanya memarahinya lagi. Cukup dulu.

"Bu, aku pamit keluar dulu. Mungkin sampai malam," pamitnya pada ibunya yang sedang duduk di ruang tamu.

"Mau kemana?" Suara ayahnya yang tiba-tiba mengintrogasi memenuhi ruangan.

"Ada urusan sama teman." Leva berbohong pada orang tuanya. Ini demi kebaikan semuanya. Demi hidupnya dan demi hidup orang tuanya. Leva masih takut jika ia berkata tentang menulis lagi, Ayahnya akan murka dan marah besar. Sehingga, menyuruh Leva berhenti total dari dunia yang saat ini sedang membumikan namanya.

Sesampainya di salah satu Gramedia yang terletak di kawasan Jakarta. Sudah banyak orang yang menunggunya, menanti ia yang akan membicarakan buku miliknya. Leva tak menyangka jika yang datang akan sebanyak ini, ketika melihat puluhan orang berdesakan di depan sana.

"Hai semua." Leva yang sudah duduk di kursi yang telah disediakan di atas panggung, mulai menyapa fans-nya atau lebih tepatnya kepada orang-orang yang suka dengan novelnya.

"Langsung aja kali ya. Oke, siapa yang mau bertanya," ujar seorang pembawa acara berperwakan perempuan yang duduk di samping Leva.

Seorang gadis remaja mengacungkan tangannya dengan tinggi. "Kak Daquinsha gimana sih perasaan kakak waktu karya kakak bisa terbit?"

"Senang. Gak bisa diungkapin gimana rasanya, intinya bahagia pakai banget," jawab Leva diselingi tawa.

"Apa orang tua kakak tau? Kakak kayak gini, terus gimana reaksi mereka?" Pertanyaan ini membuat Leva sedikit sensitif tapi ia tetap harus menjawabnya.

"Orang tua aku, ya. Hmmm, jujur mereka enggak tahu sama sekali kalau karyaku diterbitkan. Dari awal saja mereka nggak ngebolehin aku nulis. Jadi, aku nggak memberitahu mereka tentang ini." Senyuman tipis yang hadir barusan sebagai penutup acara hari ini.

Setelah acara selesai Leva pulang ke rumah. Pasti orang tuanya sudah menunggunya, iya kalau menunggu. Leva tersenyum sinis mengingat hal itu. Benar saja, kedua orang tuanya berada di depan televisi.

"Va, duduk sini." Leva yang merasa namanya dipanggil langsung menghampiri orang yang memanggilnya.

"Dari mana aja kamu," tanya Ibunya sembari menatap putri semata wayangnya penuh kasih sayang.

"Tadi Leva kan udah bilang, ada urusan sama teman," jawab Leva lalu menghela napas kasar.

"Bohong, pasti nulis lagi." Kini suara ayah Leva menginterupsi.

Deg. Jantung Leva langsung serasa berhenti detik itu juga. Leva lamgsung mendongak menatap ayahnya. Bagaimana ayahnya bisa tau?

Melihat reaksi Leva, Ayahnya tahu jika Leva berpikir bagaimana ayahnya bisa tahu. "Temen kamu yang bilang."

Leva tak berbicara apapun, ia memilih bungkam. Ia mencoba menjernihkan pikirannya yang mulai terkoyak.

"Terserah kamu, asal jangan panggil lagi Ayah dengan sebutan Ayah," ucap ayahnya sambil berlalu pergi meninggalkan ruang keluarga.

Leva terisak mendengar ucapan ayahnya barusan. Ia tak menyangka bahwa akan seperti ini. Ia hanya ingin membuat orang tuanya bangga padanya. Bukan seperti ini yang ia mau. Leva bangkit dari sofa meninggalkan ibunya.

Ia menutup keras pintu kamarnya dan mengunci dari dalam. Tubuhnya lemah dan rapuh. Perkataan ayahnya seolah tamparan keras baginya, bahkan menurutnya ini lebih sakit daripada tamparan ayahnya waktu itu.

Dua jam berlalu. Leva masih setia dengan tangisannya. Tubuhnya sudah kacau. Rambutnya acak-acakan. Matanya sembab dan merah. Dadanya sesak.

Ia tak mau melihat orang tuanya kecewa padanya. Ia hanya ingin orang tuanya tahu bahwa Leva bisa membuat mereka bangga. Bukan anak bodoh seperti yang mereka tahu dan katakan.

***

Matahari dengan semangatnya mulai menampakkan sinarnya tanpa malu-malu. Burung-burung bersahutan membentuk barisan di langit. Jalanan nampak ramai, banyak orang yang sedang olahraga. Karena memang ini hari minggu di mana orang bersantai dan beristirahat di rumah.

Jam baru saja menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, sudah ada saja yang bertamu. Ibu Leva berlari ke depan rumah ketika mendengar suara.

"Permisi," ucap dua orang remaja.

"Iya. Ada apa?" tanya ibu Leva sambil membuka pagar.

"Apa benar ini rumah Kak Daquinsha?" Gadis kecil berambut sebahu balik bertanya kepada ibu Leva.

Ibu Leva mengeryitkan dahinya, mencoba menafsir pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh gadis yang ada di depannya.

"Kami hanya mempunyai anak satu dan namanya Leva," jawab ibu Leva.

"Wah, kita salah rumah kalau begitu. Kita berdua minta maaf ya, Tante." Kedua wanita remaja itu pergi meninggalkan rumah Leva.

Belum sempat mendapat lima langkah, ibu Leva memanggil lagi kedua remaja itu. "Eh, tapi nama anak saya Daleva Quinsha, apa itu yang kalian maksud?"

"Mungkin. Kita berdua juga tidak tahu karena yang kita tahu Kak Daquinsha dan di novelnya yang berjudul 'REGRET' ini juga tertulis penulisnya Daquinsha," ucap salah satu wanita itu sembari menunjukkan novel karya Leva.

"Ini buku karya anak saya?"

Kedua remaja itu saling berpandangan. "Iya, apa Tante tidak tahu?" Gadis itu melihat wajah ibu di depannya ini sendu, "kak Daquinsha sudah terkenal karena menciptakan buku ini. Fans-nya juga banyak termasuk kita berdua salah satunya."

Ibu Leva langsung menitikkan air matanya. Ia tak menyangka bahwa anaknya sudah membuktikan ucapannya. Sudah membuktikan bahwa ia berbakat dalam hal menulis.

Ibunya langsung mempersilahkan kedua remaja itu masuk ke dalam rumah. "Tante panggilkan Leva dulu ya."

"Siapa, Bu?" tanya Ayah Leva yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Penggemar Leva katanya."

"Penggemar?"

"Iya, Yah. Leva ternyata sudah jadi penulis terkenal." Perkataan istrinya barusan membuat ayah Leva seperti tersambar petir.

Mereka berdua langsung berlari menuju kamar Leva. Diketuknya pintu kamar Leva berulang kali, tapi tetap saja tidak ada respon dari dalam.

"Leva!" teriak ibu Leva, mungkin Leva tidak mendengar suara ibunya.

"Leva buka, ini Ayah."

Lantaran sedari tadi tidak ada respon apapun. Ayah Leva pun dengan sigap mendobrak pintu kamar Leva hingga jebol. Kosong. Sepi. Hampa. Itulah keadaan yang dapat menggambarkan kamar Leva saat ini. Bukan anaknya yang ditemukan oleh kedua orang tua Leva, tapi mayat Leva. Leva menggantung dirinya di kaitan tali.

Ibunya yang syok melihat itu langsung pingsan. Leva memilih mengakhiri hidupnya, daripada terus-terusan menjadi beban orang tuanya.

Ayahnya langsung naik ke atas kasur dan melepas tali yang mengikat leher Leva. Tiba-tiba ada yang jatuh dari saku Leva, kemudian ayahnya memberingkan Leva di lantai lalu dengan membuka sesuatu yang jatuh tadi. Ternyata itu adalah sepucuk surat dari Leva.


Dear,
Ibu dan Ayah yang kusayangi.

Perihal rindu surat ini kutulis,
Di lembaran kosong nan tipis yang akan terisi,
Dengan barisan huruf yang mungkin tak berarti,
Penaku masih dengan samar dan malu-malu menggoreskan tinta yang hitam,
Mulai ragu untuk menuliskan kisahnya yang kini bisu,
Tapi, sedikit saja lewat ini semua perasaan yang ada di dadaku akan ku tumpahkan di sini.

Ayah ... ibu ....
Maafkan Leva jika selama ada di dunia ini Leva selalu menjadi beban kalian. Leva tak ingin menentang kalian, tapi Leva juga punya mimpi yang tidak bisa Leva tinggalkan begitu saja.

Alhamdulillah. Ibu, Ayah, apakah kalian tau? Sekarang impian leva sudah terwujud, Leva bahagia sekali sekarang, karena Leva sudah punya novel sendiri. Maaf jika Leva tak memberitahu kalian, karena leva takut akan membuat kalian marah. Leva pamit. Semoga dengan perginya Leva, semua akan baik-baik saja.

Terima kasih Ibu dan Ayah. Leva sayang kalian.

DALEVA QUINSHA


"Maafkan Ayah, Nak," ucap ayah Leva setelah membaca surat dari anaknya, ia memeluk erat tubuh Leva. Air matanya mengalir deras. Ia tak mengira akan seperti ini. Anak semata wayangnya, dengan cepat meninggalkan dunia dan itu pasti karenanya yang terlalu egois menentang keinginan anaknya.


--TAMAT--




Note :

1. Post-traumatic stress disorder/PTSD adalah masalah kesehatan mental yang dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk kekerasan, cedera, dan bahaya.

2. Pil anti-depresan adalah pil untuk mengurasi rasa depresi berlebihan yang disebabkan oleh gangguan mental yang dialami pasien.

3. Escitalopram : jenis pil antidepresan yang masuk dalam golongan serotonin.

4. OA : OFFICIAL ACCOUNT

5. Artworker : Beberapa orang dalam satu atau dua dekade terakhir telah mulai menciptakan karya seni dengan teknologi.

6. Scrittore : grup kepenulisan dan graphic berbasis line



Hostoire CourteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang