Mataku yang awalnya terpejam, seketika terbuka secara paksa, karena Sari membangunkanku. Kini aku baru ingat, sekarang giliranku dan Sari mendapat giliran untuk pergi ke pasar, membeli bahan-bahan di dapur. Dengan gerak cepat aku melipat selimut lalu mencuci muka.
Setelah itu, aku mengambil jaket yang sudah usang di balik pintu kamarku, jaket cokelat itu jaket pemberian dari teman pantiku saat aku berulang tahun ke-12 tahun, kini usiaku sudah beranjak semakin dewasa, umurku sudah 17 tahun, walaupun jaket itu sudah tidak muat, aku paksakan masuk ke tubuhku, hanya sekadar untuk menghangatkan tubuhku.
Aku dan Sari berjalan di sepanjang lorong kamar anak panti. Pukul 5 pagi, masih sangat pagi untuk anak-anak biasa, tetapi tidak untuk anak panti. Pukul 5 mereka diwajibkan untuk bangun dan langsung mengerjakan tugasnya masing-masing, Panti ini layaknya seperti asrama.
"Pandita!" panggil seseorang yang tidak asing lagi bagiku.
"Hai, Gangga!" sapaku. Dia pun melempar senyum kepadaku.
Mata Gangga tertuju kepada jaket yang aku kenakan, "nanti aku belikan jaket lagi yang lebih besaran ya," ucapnya.
"Ah, tidak usah, Gangga. Jaket yang kamu berikan masih muat kok, dan masih nyaman sekali ditubuhku!" elakku ditambah dengan senyum semringah. Aku tidak mau merepotkan satu temanku ini, dia sudah terlalu baik untukku selama ini.
"Sudah ya. Aku dan Sari pamit dulu," kataku, lalu melanjutkan jalanku sembari menggandeng tangan Sari.
"Kalian hendak kemana?" tanya Gangga tepat di hadapan kami, dan ia berhasil membuat langkahku dan Sari terhenti.
"Ke Pasar! Permisi, kalau kamu terus menghalangi jalan kami, kami akan dimarahi oleh Ibu Panti." jawab Sari ketus, tiba-tiba saja Sari menarik tanganku, aku pun terbawa olehnya.
Sesampainya di Pasar, langkahku terhenti, karena semuanya tampak gelap, pengelihatanku dipenuhi oleh cahaya remang-remang, seperti kunang-kunang mengitari tubuhku. Aku lemas, kakiku terasa tidak lagi berpijak di tanah.
***
"Hei, apa kamu tidak apa-apa?" Suara asing itu berhasil menyadarkanku. Aku membuka mata perlahan, terlihat Sari dengan wajah cemasnya dan ... siapa dia? Aku melihat sosok lelaki berbaju kaus putih tengah berdiri di sebelahku.
Omong-omong aku ada dimana?
Aku memaksakan diriku untuk bangun, kepalaku yang masih uring-uringan membuatku terjatuh lagi. "Kamu bisa istirahat dulu, nanti kalau sudah membaik, aku antar kalian ke rumah, ya?" tawarnya.
"Maaf sebelumnya, kami tidak punya rumah," kata Sari dengan suara melemah.
"Lalu, kalian tinggal dimana?" tanya lelaki asing itu.
"Kami tinggal di Panti." jawab Sari terus terang.
Di luar sana, hujan masih saja mengguyur bumi, aku teringat lagi dengan kata 'keluarga', aku termenung di atas sofa milik lelaki asing itu.
"Hei, kenapa kamu bengong?" Lelaki itu menyadarkanku.
"Ah, tidak," kataku, "hei, apakah kamu memiliki keluarga?" Entah kenapa pertanyaan itu keluar, padahal aku tahan sedari tadi dipikiranku.
"Kalau aku tidak punya keluarga, tidak mungkin aku ada di sini." ucapnya.
"Keluarga itu apa?" tanya Sari.
"Keluarga itu sekumpulan manusia yang memiliki ikatan darah, yang terdiri dari ayah, ibu, anak. Kalau keluarga besar ditambah adanya kakek, nenek, paman, atau yang lainnya." jelasnya. Aku dan Sari hanya manggut-manggut, tanda mengerti.
"Hujan sudah reda, apa kalian tidak ingin balik ke Panti?" tanya lelaki asing itu. Seketika kepalaku menoleh ke arah luar. Benar, hujan sudah reda.
Sejujurnya aku masih betah tinggal di sini, andai saja keluarga lelaki asing ini mengadopsiku, aku merasa sangat bahagia dan berterima kasih.
***
Semoga kalian suka ya :)
-Terima kasih-
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau, dan Hujan.
RandomTentang hujan, yang mengingatku pada masa lalu yang kelam, aku merasa senang maupun sedih, bersamaan dengan turunnya hujan yang membasahi semesta ini.