dua-puluh-tiga

216 50 16
                                    

Sudah 2 bulan yang lalu aku keluar dari gedung yang berbau obat-obatan itu. Sekarang  aku tinggal bersama ayah dan ibu angkatku lagi, mereka sudah mau menerimaku lagi sebagai anggota keluarganya, walau hanya berstatus sebagai anak angkat. Gangga juga membujuk ibu agar bisa menerimaku lagi. Selama 2 bulan aku tinggal di rumah ini, ibu tidak pernah memarahiku lagi, karena keluarganya sudah lengkap dan Abel sudah kembali.

Omong-omong soal Abel, ia sudah sembuh dari gangguang mentalnya, sejak aku masih dirawat di Rumah Sakit, ia jadi sering menjengukku dan membantuku untuk mengingat-ingat lagi tentang masa laluku, walau ia tidak tahu banyak soal itu, ia berusaha untuk mengingatkan ku, siapa dirinya. Aku berhasil mengingat semua itu lagi berkat Gangga.

***

Aku menatap langit yang sangat gelap, hujan masih mengguyur semesta. Aku yang berada di dalam mobil Gangga pun hanya diam dan hanya menyaksikan hujan. Gangga pernah bercerita denganku, kalau dulu saat aku tinggal di Panti, aku sering menangis dan ketakutan saat kilat menghiasi langit dan gemuruh meramaikan dunia.

"Kamu dulu lucu," katanya cekikan sambil fokus menyetir. Aku hanya menyentil lengannya.

Tidak lama kemudian, kami pun sampai di rumahku. Aku baru saja menghabiskan waktu senjaku bersama Gangga, ternyata lelaki yang selama ini menemaniku di Rumah Sakit adalah dirinya.

"Terima kasih, Gangga. Sampai jumpa esok!" kataku dengan semangat, aku tidak sabar untuk menghabiskan senjaku bersamanya lagi, bersama dengan Gangga adalah hal yang mengasyikkan.

"Selamat malam, Pandita!" ucapnya lalu melesat jauh meninggalkan rumahku. Aku pun berlari kecil menuju rumah, karena hujan masih turun.

Aku melangkahkan kaki menuju ruang kamarku, tiba-tiba seseorang memanggilku dan berhasil menghentikan langkahku, aku pun berbalik badan, "aku mencintaimu," katanya lalu memelukku, aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Aku masih tidak bergeming.

"Bagaimana hubunganmu dengan Abel? Dia sangat mencintaimu, Julian!"

"Cinta emang enggak bisa dipaksa, Dit. Kalau pun aku mencintai Julian, sedangkan dia tidak mencintaiku, untuk apa kita menjalin sebuah hubungan secara paksa?" Suara Abel tiba-tiba mengejutkanku, sentak saja aku melepas pelukannya dan mendorong tubuh Julian, hingga ia mundur beberapa langkah dari tempat awalnya.

"Tap ... tapi, aku enggak mau menyakiti dan berperan antagonis lagi," kataku terbata-bata, aku ingat betapa sakitnya saat mengetahui Abel dalam kondisi terpuruk akibat diriku.

Air mataku tiba-tiba jatuh, tanpa aku sadari tangan seseorang mengelap pipiku, "sudahlah, kamu istirahat saja. Kamu pikirkan besok baik-baik," katanya. Aku pun mengelap lagi air mataku lalu aku berjalan menuju kamarku.

Aku duduk di atas ranjang sambil mengingat- ingat kembali apa yang telah dilakukan oleh Gangga dan Julian. Dulu, kepalaku rasanya berat sekali untuk mengingat masa lalu. Aku memilih untuk merebahkan diri di atas ranjang. Saat mataku hendak terpejam, dua notifikasi pesan masuk.

Gangga & Julian | 21.00 pm.

Julian : Selamat malam, Pandita :)

Gangga : Selamat malam, Pandita :D

Kenapa bisa bersamaan? Apa mereka janjian? Aku pun hanya tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala. Lalu aku membalasnya sambil senyum-sentun enggak jelas.

Me
To : Julian & Gangga

Kalian satu hati, lain jiwa :D


Pesan baru | 21.05 pm.

Gangga : Kalian?

Julian : Kalian?

Me
To : Gangga & Julian

Iya. Julian dan Gangga :)


***

Author's note :

Oke, i know this part gak jelas banget, 1 chapter lagi akan -tamat- yeaay. Because hari sekolah sudah mulai, aku stop sampai bab selanjutnya.

Semoga kalian suka

-Terima Kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang