Aku sudah diizinkan untuk makan malam bersama dengan Julian. Ayah dan ibu sangat menyetujui hubunganku dengan Julian, ibu juga mengaharapkan hubunganku dan Julian terus berlanjut.
"Kamu masih takut dengan petir?" tanya Julian saat melihat petir menghiasi angkasa.
Aku menggeleng ragu, "tidak. Gangga mengajariku dan meyakinkanku kalau aku bisa melawan rasa takutku," tuturku.
Julian memutar bola matanya, "aku tidak mau lagi kamu mengingat lelaki itu!" Nada suara Julian sedikit meninggi, hingga membuat mataku melotot.
"Dia sahabatku, Julian!" balasku dengan emosi yang sudah memuncak di ubun-ubun.
"Aku tahu hal itu. Tapi, aku yakin, kamu masih menyimpan rasa 'kan kepada lelaki itu?" tanyanya.
Aku tidak mau lagi membahas Gangga di depan Julian. Aku segera bangkit dari dudukku, aku memilih pergi meninggalkan Julian sendiri di kedai yang kami kunjungi.
Aku berjalan menerobos ribuan air yang jatuh ke bumi, aku ingin pulang dengan cepat. Aku pikir Julian akan menyusulku, tetapi hayalan tetaplah hayalan, ia sama sekali tidak mengejarku. Air mataku luruh bersamaan dengan turunnya hujan. Aku mengusap air mata dan air hujan bersamaan membasahi wajahku, tanganku tiba-tiba terseret, dibawa oleh orang yang tak ku lihat jelas.
Aku berusaha meronta, agar tidak terus terbawa olehnya, aku menepis tangannya, tanganku dicengkram sangat erat oleh orang asing itu. "Lepasin!!!" rontaku. Orang itu pun melepas genggamannya.
"Kamu sudah gila, ya?" tanya orang itu, Julian.
Aku diam. Hanya memperhatikan tanganku yang memerah, "ayo kita pulang!" Lagi, lagi, dan lagi ia menyeretku menuju mobilnya.
***Aku menggeliat di kasur, aku merasa kepalaku pusing, aku pun memilih untuk memejamkan mata lagi, tetapi dibatalkan oleh suara dencitan pintu kamarku.
"Gini akibatnya kalau kamu hujan-hujanan!" sindir Julian yang masih berdiri di ambang pintu.
Aku tidak menyahut, aku masih kesal dengannya. Julian melangkah mendekati ranjangku, lalu duduk di pinggiran ranjang, "siapa yang membawaku pulang?" tanyaku sinis.
"Dasar bodoh!" celetuknya, "menurutmu siapa yang akan mengantarmu pulang kalau bukan aku, sayang?"
"Kenapa kamu mengantarku?"
"Karena aku mencintaimu," balasnya.
Julian sudah cukup lama menemaniku di kamar. Ia memilih untuk kembali bekerja, ia sudah ditelepon oleh ayahnya agar kembali bekerja.
"Sudah ya, aku harus balik membantu ayah," katanya lalu mencium keningku.
Ia pun berjalan keluar, punggungnya yang lebar membuatku merasakan kehangatan tumbuh di hatiku, "Julian!" panggilku. Langkahnya pun terhenti, tubuhnya tampak berbalik arah.
"Aku mencintaimu," kataku dengan senyum yang mengembang. Julian pun tertawa, ini kali pertama aku melontarkan kata-kata itu.
***
Langit yang awalnya sedikit cerah kini kembali lagi menjadi gumpalan yang berwarna gelap, aku yakin hujan deras akan mengguyur lagi. Aku bangun dari tidurku, kepalaku sudah sedikit membaik. Aku membuka knop pintu, aku mendapati ayah dan ibu sedang beradu pendapat, sedangkan aku tetap diam di balik pintu.
"Kamu seharusnya tidak memanjakan dia, mas!" ucap ibu penuh emosi, "Belakangan ini kamu jadi sering lupa mengunjungi Abel!" Bibir ibu terlihat bergetar menahan amarah kepada ayah.
Aku yang masih diam di balik pintu tidak mengerti apa-apa. Aku hanya diam, menyaksikan perdebatan ayah dan ibu di ruang keluarga. Kalau aku menghampiri mereka, pasti ibu akan terus memarahi ayah.
"Kamu masih mengingat tentang Abel?"
Ibu berdesis, "aku tidak bisa melupakan Abel, walaupun dia gangguan mental. Dia tetap nomor satu dihatiku, mas!"
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh ayah dan ibu, selama aku tinggal di rumah ini, mereka tidak pernah membahas Abel, apalagi menceritakannya kepadaku. Aku yang awalnya ingin mencicipi masakan ibu harus menunda perutku yang lapar.
"Tuhan, apa yang terjadi dengan keluargaku?"
***Semoga kalian suka ya
-Terima kasih-
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau, dan Hujan.
RandomTentang hujan, yang mengingatku pada masa lalu yang kelam, aku merasa senang maupun sedih, bersamaan dengan turunnya hujan yang membasahi semesta ini.