delapan-belas

237 58 30
                                    

Aku membuka payung yang diberikan oleh Julian, aku siap untuk pulang. Ku langkahlan kakiku menghindar dari genangan air, aku bersenandung kecil menikmati langkahku yang ditemani rintikan hujan.

"Aw!!!" ringisku, pasalnya tanganku dicengkram oleh seseorang, payung yang aku bawa kini terjatuh, entah kemana payung itu terbawa oleh angin.

"Kemana kekasihmu?" tanya orang itu seraya melepaskan cengkramannya. "Kenapa dia tidak mengantarmu pulang?"

"Dia sibuk bekerja, Gangga. Wajar kalau dia tidak bisa menjemputku," kataku sedikit datar.

Gangga memutar bola matanya, lalu tangannya menyentuh pundakku. Awalnya aku sedikit terkejut, tetapi aku berusaha bersikap biasa saja padanya, "mari aku antar pulang," katanya sambil menarik tangankku, aku menepis, badannya pun berbalik kearahku. "Kenapa, Pandita?" tanya Gangga dengan raut wajah yang tak bisa ku artikan.

Bibirku bergetar, "kenapa kamu peduli kepadaku, Gangga?" tanyaku penuh rasa tanya yang besar, memori masa lalu menyelimuti diriku lagi. "Bukankah kamu selama ini menghindar dariku? Bukankah selama ini kamu tidak pernah peduli denganku?" tambahku yang ditemani dengan air mata yang luruh.

"Aku sayang denganmu, Pandita," ucapnya dengan wajah yang memelas.

***

Aku pun sampai di rumah dengan selamat, aku diantar oleh Gangga, setelah perdebatan panjangku dengan Gangga, ujung-ujungnya juga aku pulang bersamanya, menaiki motor vespa miliknya.

"Terima kasih, Gangga," ucapku kaku. Entah kenapa aku merasa canggung dengan Gangga, lalu motor antiknya itu melaju menjauhi rumahku. Aku pun berjalan memasuki garasi, aku sudah berada di pintu utama, tanganku yang memegang knop pintu tiba-tiba saja melepaskannya.

"Sudahlah, kamu seharusnya peduli dengan anak kandungmu sendiri!"

"Dia sudah gila, Dian! Tidak ada yang kita harapkan lagi darinya!"

"Abel anak kita satu-satunya, ia masih punya harapan untuk kembali normal, gangguan mentalnya masih tahap ringan!" Suara ibu terdengar sangat meledak.

Lagi, lagi mereka membahas 'Abel', aku tidak mengerti tentang wanita yang dibahas ayah dan ibu. Suara derap kaki dari dalam rumah membuat diriku mundur beberapa langkah.

Seorang wanita paruh baya terlihat tengah berdiri di ambang pintu dengan menatapku. Wajah ibu memerah, matanya dibanjiri air mata dan mengakibatkan mata ibu sedikit membengkak. Ibu tampak berjalan mendekatiku.

Plak!!!

Satu tamparan mendarat di pipiku, aku baru tahu  rasa sakitnya ditampar, mobil yang dikendarai ibu sudah melesat jauh. Aku tahu bagaimana rasa sakit yang dialami ibu saat ini, rasa sakit tamparan ibu belum seberapa dari rasa sakit yang dipendam ibu.

"Pandit," panggil ayah.

Aku segera menghapus air mata yang jatuh ke pipi, "ada apa ayah?" tanyaku yang memaksakan untuk tersenyum.

Alis ayah terlihat hampir menyatu, "pipimu merah. Apa yang terjadi, nak?" tanya ayah yang menggerakan pipiku.

Aku melepas tangan ayah dari pipiku, "tidak apa-apa ayah," kataku lalu pamit untuk masuk ke kamar.

Aku berdiri di depan cermin, menatap nasib diriku yang malang, aku tidak tahu kenapa Tuhan menciptakan aku seperti ini, dilahirkan tanpa pernah mengetahui siapa orang tuaku yang sesungguhnya. Aku hanyalah anak angkat dari keluarga Pak Atmojo, apakah Tuhan memberikanku keluarga yang aku inginkan? Aku rasa tidak, aku ingin bahagia dengan keluarga angkatku, bukan keluarga yang memiliki teka-teki yang tidak bisa aku pecahkan sendiri.

Aku duduk di atas ranjang sambil menatap kearah luar. Menatap jutaan air yang turun membasahi bumi, aku jadi teringat keadaan di Panti, aku selalu berdoa menginginkan keluarga. Tetapi di bilikku, aku tidak berdoa ingin mempunyai keluarga yang bahagia.

Pintuku terbuka. Aku menengok, terdapat lelaki berbadan tegap, lelaki yang mencintaiku sepenuhnya, tengah menatapku dengan tatapan tak bisa aku artikan. Aku bangkit dari dudukku lalu menghampiri Julian.

"Ada apa, Julian?" tanyaku.

"Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Julian dengan wajah yang panik.

"A... aku tidak apa-apa, tenanglah," kataku lalu menyuruhnya duduk.

Julian menatap mataku lamat-lamat, "tadi aku lihat payung yang aku berikan untukmu berada di jalanan, terbawa angin secara liar," ucapnya, "aku pikir ... kamu ... kamu kecelakaan," tambahnya dengan terbata-bata.

"Maafkan aku, Julian," kataku sambil menunduk.

"Untuk apa?" tanya Julian.

"Tadi ... tadi, aku pulang dengan Gangga," kataku dengan nada cepat.

***

Author's note :

Kalian pernah di tampar gak sama ibu kalian sendiri? Jujur nih ya, sakit banget :') aku pernah, waks. Tapi, waktu kecil, karena coret-coret tembok pakai crayon.

Semoga kalian suka ya

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang