tiga

846 224 241
                                    

Kami sudah sampai di panti, lelaki asing itu membukakan pintu mobilnya untukku dan Sari, dan tidak lupa aku berterima kasih kepada lelaki itu.

Aku dan Sari memasuki Panti, kami menuju dapur untuk menaruh belanjaan Sari. "Makasih ya, Sar, kalau tidak ada kamu, mungkin saja aku sudah dihukum," kataku melemah.

"Itulah pentingnya seorang teman!" ujarnya.

Setelah itu, kita balik ke bilik untuk menanti makanan siap untuk dimakan, kini giliran Gangga mendapat tugas  memasak, masakan Gangga selalu disukai anak panti lainnya bahkan Ibu Panti. Gangga juga dulu pernah bercerita kepadaku, kalau sudah besar nanti, ia ingin menjadi seorang chef di restoran besar.

Aku dan Sari berjalan sepanjang koridor, tubuhku terasa dingin, karena terpaan angin. Aku melipat kedua tanganku di dada. Aku juga merasa ada yang kurang ...

Jaketku!

Aku baru ingat, aku tidak mengenakan jaket yang diberikan Gangga 5 tahun yang lalu, aku berperasangka kalau jaketku tertinggal di rumah lelaki asing itu. Dimana aku akan menemukan lelaki itu lagi?

"Ada apa, Dita? Wajahmu tampak cemas begitu?!" teka Sari.

"Jaket ... jaketku tertinggal di rumah lelaki itu!" ucapku penuh kepanikan.

Sari menepuk dahi, pasti ia menganggap diriku seperti  anak kecil yang bodoh, aku yang sudah cukup dewasa masih saja meninggalkan barang milik diri sendiri di rumah orang lain.

"Tenang, aku tahu alamat lelaki tampan itu," kata Sari penuh penekanan di kata 'tampan'.

Aku menghela napas, "memangnya meminta izin untuk pergi keluar itu gampang?" tanyaku.

Aku tahu bagaimana tegasnya Ibu Panti, ia tidak segan-segan tidak memberikan makan kepada anak panti yang suka membolos dan tidak mematuhi peraturan, aku sudah berpengalaman, aku sudah kapok. 

"Aduh, Dita, kita sudah besar. Kita layak untuk membangun rumah kita sendiri, entah kita untuk bekerja atau apa, kita harus mandiri! Kita tidak boleh bergantungan terus sama Panti ini!"

Aku sedikit berpikir, benar juga apa yang dikatakan oleh Sari, aku sudah besar, tidak boleh terus bergantungan. Huh, aku tidak tahu bagaimana kehidupanku selanjutnya kalau aku tidak tinggal di Panti ini.

"Bagaimana kalau kita meminta kepada Ibu Panti kalau kita ingin hidup mandiri?" usul Sari.

Sari terus saja membuat otakku berputar secara keras, ia berhasil membuatku dilema, usulan Sari terus mengitari pikiranku.

***

"Gangga, apa kamu tidak punya pikiran untuk hidup mandiri?" tanyaku disela-sela istirahat siang.

"Hidup mandiri ya? Punya, tetapi aku tidak punya tempat tinggal, makanya aku memutuskan masih diam di sini, aku juga kasihan kepada Ibu Panti yang sudah semakin renta," jelasnya, "memangnya kenapa?" tanyanya.

"Aku ingin hidup mandiri. Bekerja lalu mendapat gaji, aku bisa menyewa kos untuk sementara,"

"Memangnya kamu ingin bekerja apa?"

Aku sedikit berpikir, "Menjadi penyanyi kafē, mungkin?"

"Ide yang bagus!" ucapnya seraya mengacak rambutku gemas, "apa kamu tidak kasihan kepada Ibu Panti? Aku takut kalau kamu pergi, aku merindukanmu, Pandita!" ujarnya secara terang-terangan.

Tenggorokanku terasa tercekat, kata-kata yang hendak aku lontarkan tertahan, mataku menatap manik-manik mata Gangga secara tak yakin untuk meninggalkan Panti ini. Ah! Dia dan Sari sama saja, sama-sama membuatku dilema.

***

Author's  note :

Maafkeun kalau banyak typo,
komentar saja kalau ada typo.
Semoga kalian suka ya

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang