Sudah 2 tahun hidupku tanpa Gangga, kini aku selalu mendapat kiriman surat darinya, setidaknya itu lebih membuatku tenang. Kini alamatku sudah berubah, tidak lagi berada di Panti Asuhan, melainkan aku sudah berada dirumah yang cukup mewah bagiku, aku sudah diadopsi oleh keluarga Pak Atmojo.
Saat keluarga Pak Atmojo mengadopsiku, aku sangat berterima kasih kepada Tuhan dan hujan, karena mereka mengambulkan doaku yang ingin memiliki keluarga.
Kini, aku berprofesi sebagai penyanyi kafē, keinginanku sejak di Panti terkabulkan. Sedangkan Gangga sudah menjadi juru masak disalah satu rumah makan. Sampai saat ini, Gangga belum memberitahu alamat kerjanya dan tempat tinggalnya.
"Ayah, aku berangkat kerja dulu ya," pamitku sambil mencium punggung tangan ayah dan ibu.
"Nanti, kalau kamu pulang malam, kabari ayah atau ibu. Agar kita tidak mengkhawatirkanmu!" pesan ayah selalu melekat di otakku.
Aku sedang menunggu bus yang lewat. Sudah pukul 4 sore, satu bus pun belum lewat dihadapanku, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halte bus, tepatnya dihadapanku. Pengemudi membuka kaca jendela, "Ayo masuk!" Awalnya aku tidak mendengar jelas ucapannya, karena suara hujan yang sangat deras.
"Bagaimana urusanmu saat ini?" tanyaku kepada lelaki yang tengah sibuk mengemudi.
"Masih sibuk dengan urusan ayah. Maaf, jika aku jarang menghubungimu," katanya.
"Tidak apa, aku juga sering dipanggil dadakan oleh Tuan, jadi jarang memegang ponsel,"
Tidak lama kemudian, aku sampai di kafē tempatku bekerja, kafē itu sudah ramai dipenuhi oleh pengunjung. Biasanya ia datang hanya menonton pertunjukanku, bukannya sombong atau apa, mereka adalah penggemar setiaku.
Tampak Julian ikut keluar dari mobilnya. Aku sedikit terkejut, biasanya ia jarang untuk menemaniku bekerja, karena ia harus mengurus pekerjaan ayahnya.
"Kamu tidak bekerja?" tanyaku.
"Lebih baik aku menemanimu, sayang," katanya dengan nada yang imut. Aku yang masih dibawah payung hitam bersamanya hanya tertawa. Aku memang sedikit geli kalau Julian memanggilku dengan kata 'sayang' .
"Sudahlah, kamu jangan bertingkah lucu lagi," kataku menepuk pipinya lembut, "sudah ya, aku tinggal dulu." pamitku.
"Semoga lancar, sayang!" Ia sedikit berteriak, hingga membuat pipiku memanas.
Aku sudah menaiki panggung lalu menghela napas agar tidak gugup, ini pertama kalinya aku ditonton oleh Julian, kekasihku. Ya, dia sekarang sudah menjadi kekasihku, hubunganku sudah berjalan 10 bulan, untung saja tidak ada masalah yang besar menghampiri kami.
Aku mulai melangkahkan kaki mendekati kursi yang sudah disediakan, aku pun mulai duduk di kursi itu, tanganku mulai memegang mic lalu mengeluarkan nada yang seharusnya dikeluarkan, aku mulai menikmati lagu yang ku nyanyikan.
Tulus - Monokrom
Lagu itu lah yang aku bawakan sore ini, tampak beberapa pengunjung menikmati lagu bawaanku dan ikut bernyanyi, aku sesekali melirik ke bangku Julian. Ia pun melempar senyum kepadaku. Pandanganku yang sudah lepas dari Julian, kini fokus ke arah laki-laki mengenakan jaket hitam dan juga topi hitam. Aku tetap bernyanyi, tetapi nadaku tak sesuai dengan musik yang mengiringiku. Perlahan aku berhenti bernyanyi, aku sadar itu. Diwaktu yang bersamaan saat aku berhenti bernyanyi, lelaki berjaket dan bertopi hitam itu keluar dari kafē ini.
Aku turun dari panggung, terdengar banyak sorakan kecewa untukku. Tuan, pemilik kafē ini juga ikut terkejut, aku meminta maaf kepada Tuan atas kelakuanku malam ini. Bagiku menemukan lelaki itu lebih penting dari apapun.
"Pandita, kamu kenapa?" tanya Julian memberhentikan langkahku.
Aku menatap manik mata Julian lamat-lamat, bibirku bergetar, "Aku melihat Gangga di sini," kataku tak bisa menahan air mata.
Tangan Julian memegang pundakku, "Kamu masih memikirkan lelaki itu?"
"Aku belum bisa melupakannya, Julian!"
***Author's note :
Pandita kenapa ya? Julian, maklum ya kalau Panditanya kayak gitu :') apa mulai di sini bakal ada konflik? Baca next-nya ya.
Semoga kalian suka ya
-Terima kasih-
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau, dan Hujan.
RandomTentang hujan, yang mengingatku pada masa lalu yang kelam, aku merasa senang maupun sedih, bersamaan dengan turunnya hujan yang membasahi semesta ini.