dua-belas

263 86 60
                                    

"Sehari enggak lihat kamu, kayak makan tanpa garam, hambar."

***

Aku masih mengurung diri di kamar, aku tidak minat untuk sarapan, padahal lauknya saat ini adalah lauk favoritku, pergedel jagung. Aku masih memeluk jaket usang itu. Ragaku hampir hilang, saat tahu Gangga pergi dari Panti ini.

"Dita, ini aku bawakan sarapan. Makan dulu," kata Sari. Aku tahu, Sari mengerti perasaanku sekarang, bagaimana rasanya ditinggal oleh seorang sahabat. Aku tidak tahu harus mencari Gangga kemana.

"Aku harus mencari Gangga, Sari!" kataku penuh ambisi.

Tanpa pamit, aku menerobos hujan yang sangat deras. Aku lupa mengenakan jaket yang diberikan oleh Gangga, tubuhku hanya dilapisi kain tipis, itu tidak mampu menahan dingin, kilat yang menyambar, guntur yang menggelar, aku paksakan agar tidak takut dengan itu semua.

Aku melihat sosok lelaki tengah duduk di depan halte bus, tubuhnya tegap, setegap Gangga, aku memicingkan mata, aku yakin itu Gangga, lelaki itu masuk ke sebuah bus. Tebakanku benar, itu Gangga. Aku berlari kecil agar bisa menyamakan posisi dengan lelaki itu.

Bayangan semuanya menjadi kabur, bumi ini bergoyang, kakiku bergemetar, tanganku terasa lemah. Semuanya menjadi gelap.


***

Aroma obat-obatan yang menyengat indera penciumanku menyadarkanku, kepalaku terasa sangat berat sekali, mataku melihat semuanya menjadi remang-remang, aku belum stabil.

"Mba, apa sudah sadar?" Suara yang sangat asing bagiku bertanya.

Aku menoleh, seorang perempuan dengan pakaian putih-putih, sepertinya dia perawat di sini. "Maaf, saya di mana ya?" tanyaku yang benar-benar bingung.

Perempuan itu tersenyum kearahku, "mba ada di UGD, tadi teman mba mengantar kesini," katanya.

Aku terdiam sejenak, berpikir, rasanya aku tidak mengajak teman, apa Julian mendapatiku di jalan, lalu membondongku membawa kesini? Tetapi kalau Julian membawaku sampai UGD, dimana Julian?

"Kalau mba sudah merasa baikan, mba boleh pulang, dan temui teman mba di ruang tunggu," ucap suster itu lalu pergi meninggalkanku.

Aku pun bangun dan menemui teman yang membawaku kesini, aku paksakan meskipun kepalaku masih terasa uring-uringan. Aku mendapati lelaki mengenakan jaket hitam tengah duduk dengan kepala yang menunduk dan matanya yang tertutup.

Aku duduk di sebelahnya, ia pun masih menutup matanya, tampaknya ia kelelahan. Tanganku menjalar ke bahunya, aku rindu aroma parfumnya, aku memeluk tubuhnya erat-erat, ada rasa hangat yang tumbuh dalam diriku saat memeluk tubuhnya. Mata lelaki itupun terbuka, sedikit terkejut melihat keberadaanku yang tiba-tiba saja memeluknya.

"Gangga ...." lirihku. Dia hanya terdiam. "Aku ingin kamu diam di sisiku, aku merasa hangat berada di dekatmu, aku tidak mau kamu pergi dari hidupku," kataku dengan tenang.

Dia melepas pelukanku, aku sedikit terkejut dengan aksinya, "maafkan aku, Pandita ...." katanya yang menggantung, "aku sudah diadopsi." tambahnya.

Mataku berair, tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Gangga, aku tidak tahu harus mengataka apa, tenggorokanku terasa serat, suaraku seperti hilang terbawa angin. Bibirku bergetar menahan isak tangis, tetapi nihil, aku tetap menangis di hadapan Gangga.

Jemarinya menghapus air mataku yang luluh, aku menepis, tidak butuh rasa kasihan dari lelaki yang selama ini aku rindukan, "kamu berhasil mengukir goresan luka di hatiku, Gangga!"

Tanganku di remas olehnya, tidak terasa sakit, tetapi menimbulkan rasa hangat, air mataku surut seketika. "Kamu harus berani melawan ketakutanmu. Aku yakin, kamu bisa, Pandita!" Kalimat yang terlontar dari mulut Gangga bagiku omong kosong, aku benci dengan kata-kata yang dilontarkannya.

"Aku benci kamu, Gangga!" ucapku dengan suara yang parau.

***

Semoga kalian suka ya

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang