sembilan-belas

232 58 18
                                    

Kini aku sedang menikmati makan malam bersama keluarga angkatku, aku senang sekali bisa berkumpul dengan ibu dan ayah walau mereka tidak saling berbicara, aku pun ikut membisu.

Aku bangkit dari dudukku. Makananku sudah habis, "Pandita!" panggil ibu, aku pun menoleh ke arahnya.

"Usai mencuci piring, ibu akan mengenalkanmu dengan Abel," kata Ibu. Aku pun cepat-cepat mencuci piring lalu mengganti baju. Teka-teki keluarga ini hampir aku pecahkan. Aku tidak sabar untuk menemui Abel.

Aku sudah berada di dalam mobil bersama ibu, di luar masih saja hujan, awan menggumpal. Ibu masih saja irit bicara denganku, apa ibu merasa bersalah setelah menamparku?

Hanya lagu klasik di dalam mobil yang memecah keheningan kami, aku tidak berani membuka pembicaraan, takut kalau ibu nanti akan marah padaku.

"Silakan turun. Sudah sampai," kata ibu dengan lemah lembut. Aku heran saja dengan ibu, kenapa mood-nya berubah-ubah. Tadi marahnya luar biasa, sekarang malah sangat lemah lemut denganku.

Aku memasuki gedung, aroma obat-obatannya  tidak kalah menusuk indera penciumanku dari Rumah Sakit biasa. Aku menelusuri lorong-lorong bersama ibu, seketika langkah ibu berhenti dan aku mengikutinya. Ada apa?

"Abel ...." panggil ibu dengan suara lembut dan senyum yang mengembang. Seorang gadis yang bernama 'Abel' itu menengok lalu memeluk ibu sangat erat, aku melihat air mata jatuh dari pelupuk mata Abel.

Setelah Abel melepas pelukannya, ia melihat diriku dengan tatapan super tajam, aku sedikit takut dengannya, "Pandita, ini Abel. Anak kandung ibu dan ayah, dia tidak galak kok, hanya saja ia mengalami gangguan mental," kata ibu menenangkan jiwaku. Aku sedikit mengelus dada.

"Abel, kamu istirahat dulu ya?"

Abel tampak bengong melihat ibunya, ia sangat sulit untuk mencerna perkataan ibu. Abel pun duduk di kursi rodanya, ibu pun mendorong kursi Abel hingga ke ruang rawat Abel. Setelah Abel tertidur pulas, aku dan ibu pamit ke suster yang menjaga Abel.

"Ibu, aku boleh nanya, nggak?" tanyaku. Ibu mengangguk.

"Abel kok bisa gitu?" tanyaku ragu sambil menggigit bibir bawah.

Ibu menghela napas, "Abel gangguan mental akibat diputusin kekasihnya demi wanita lain, dia sudah pacaran 3 tahun dengan lelaki itu. Abel belum pernah membawa mantan kekasihnya ke rumah, andai saja ibu tau siapa lelaki itu, ibu akan tuntut dia!

waktu itu ibu dan ayah lagi ada kerja keluar kota, saat ayah dan ibu pulang, kami melihat Abel tergeletak di teras rumah, rambut acak-acakan, ada lebam dimana-mana, kepalanya mengeluarkan darah, kata dokter ia mengalami gangguan mental tapi masih tahap ringan, makanya kami menitipkan Abel disini lalu mengadopsimu, dan kata dokter Abel harus diterapi agar kondisinya membaik,"

"Kamu jangan sampai seperti Abel mendapatkan lelaki macam itu, dan kalau kamu putus, ibu harap kamu jangan gila karena laki-laki brengsek!" tambahnya. Aku pun mengangguk, mengerti dan akan mematuhi apa pesan ibu.

Sesampainya di rumah aku meminta  izin untuk memasuki kamar, ibu pun mempersilakanku agar istirahat. Aku merebahkan tubuhku di kasur, "akhirnya teka-teki ini terpecahkan," gumamku. Aku pun menutup mataku.

***

Author's note :

Bahagia itu, memecahkan teka-teki yang selalu terngiang di otak. Ohiya, pesanku juga, buat kalian yang udah punya pacar, kalau diputusin jangan sakit hati, buang aja mereka jauh-jauh, dan masih banyak lagi ada cowok/cewek yang lebih baik dari mereka.

Semoga kalian suka ya.

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang