dua-puluh-satu

220 57 36
                                    

Mobil Julian membelah jalanan kota, Julian tampaknya tidak sabar bertemu dengan saudara angkatku, sedari tadi ia terus bertanya-tanya tentang saudara angkatku. Tidak lama kemudian, aku dan Julian turun dari mobil. Aku berlari kecil agar tidak terguyur hujan, sedangkan Julian sengaja bermain di bawah guyuran air yang jatuh dari atas, segera aku menariknya mencari tempat teduh.

"Lihat, rambutmu jadi basah begini!" gerutuku.

"Tidak masalah, yang terpenting aku mencintaimu," katanya menggombal.

Aku pun mengedikkan bahu lalu berjalan menyusuri tempat terapi Abel, ibu sudah menunjukkan tempat di mana biasanya Abel diterapi.

Aku memasuki ruangan Abel, sedangkan Julian menunggu di luar ruangan. Terlihat ia sedang disuapi makan oleh suster, wajahnya tampak begitu cantik, "Hai Abel!" sapaku penuh dengan senyum yang mengembang.

Abel tersenyum kepadaku, "sendiri?" tanya Abel, mata Abel tampak begitu sayu, miris sekali nasib Abel harus dihianati oleh lelaki brengsek.

"Tidak. Aku mengajak kekasihku, kamu mau kenalan tidak?" tanyaku. Ia pun mengangguk, wajahnya tampak begitu senang. Aku pun berjalan mendekati tubuh Julian yang masih duduk di depan ruangan Abel.

"Dia ingin berkenalan denganmu, ayo masuk!" kataku berbisik.

"Benarkah?" tanya Julian semringah, aku pun mengangguk sambil menaik-turunkan alisku. Aku dan Julian pun memasuki ruangan Abel.

"Abel, ini kekasihku," kataku, Abel pun mendongak, sekelebat wajahnya tampak terkejut dan panik, ia mulai menjambak rambutnya sendiri, matanya berair. Aku tidak mengerti, apa yang terjadi oleh Abel.

"LAKI-LAKI JAHAT!!!" Abel berteriak, ia menyembunyikan  wajahnya di balik selimut, Abel benar-benar tidak mau menatap Julian.

"PERGI!!!" teriaknya lagi. Suster dan aku sibuk menenangkan Abel, kini ia sudah memecahkan 3 benda di dekatnya.

"Julian, pergilah!" pintaku.

"PERGI LAKI-LAKI BRENGSEK!!!" Lagi, lagi ia berteriak sambil melempar bantal ke arah Julian.

"Sudah nak Abel, dia sudah pergi," kata suster menenagkan Abel.

Aku benar-benar bingung, apa teka-teki datang lagi?

"Sus, apa yang terjadi dengan Abel?" kataku setelah Abel diberi obat tidur oleh suster.

"Tampaknya ia mengingat mantan kekasihnya, mungkin saja laki-laki itu mirip dengan mantan kekasihnya. Atau mungkin, setiap pemuda datang, ia mengingat mantannya,"

Segera aku menelpon ibu dan ayah agar datang ke tempat terapi Abel. Aku benar-benar bingung hari ini. Aku terduduk di sofa sambil menunduk. Suara derap kaki menyadarkanku, segera aku mendongakkan kepala lalu berdiri, terlihat ibu berjalan mendekatiku.

Plak!!!

Satu tamparan mendarat di pipiku, pelupuk mataku berhasil menjatuhkan buliran bening dan membasahi pipiku. "WANITA BRENGSEK!!!" Emosi ibu terluap-luap, apa ibu selalu menumpahkan emosi dengan menamparku? "Kau dalang dibalik semua ini!" jeritan ibu membuat ayah dan Julian masuk. Ayah menarik ibu keluar ruangan sedangkan Julian menenangkanku. Sedangkan suster hanya diam tak bergeming sedikit pun.

Di balik punggung Julian, terlihat ibu berjalan cepat, wajahnya memerah. "KALIAN PERGI DARI SINI!" ucap ibu menjerit, tetapi aku masih diam diposisi awal sebelum semua teka-tekinya terpecahkan.

"Kamu bahagia setelah membuat anak saya gila, hah?" tanya ibu kepada Julian.

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang telah terjadi. Julian sedari tadi menunduk, aku harus mempertanyakan itu semua kepada Julian. Wajah ibu memerah hingga menjalar ke telinganya, ia benar-benar dalam puncak emosi. Tangan ibu meorogoh tasnya, sepertinya ia akan mengambil sesuatu.

Brukk!

Beberapa file jatuh, terkapar liar di lantai. Aku juga melihat beberapa foto ikut berhamburan, aku benar-benar penasaran, aku berjongkok merapikan file dan foto itu tadi, satu demi satu lembaran foto kulihat, dadaku terasa dipukul bagai samsak, hatiku terasa teriris oleh pisau, jiwaku seperti melayang entah kemana.

Aku baru saja melihat foto ...

Abel dan Julian.

Sangat mesra.

"Aku hanya mantan kekasihnya, Pandita!" elak Julian.

Aku melempar semua berkas-berkas itu tadi tepat di wajah Julian. Hatiku benar-benar teriris, air mataku jatuh lagi, tamparan ibu tidak sesakit saat aku melihat foto Abel dan Julian. Tanganku tiba-tiba dicengkram olehnya, Julian membawaku ke parkiran, kita berada di bawah guyuran air hujan.

Plak!!!

Aku berhasil menampar pipinya yang selama ini aku elus dengan kasih sayang, aku memukul dadanya yang bidang, "Brengsek!!!" teriakku ditemani oleh air mata.

"Tampar aku lagi, sampai kamu puas!" Aku rasa  emosi Julian sudah berada di ubun-ubun.

Air mataku turun dibawa oleh guyuran air hujan, aku kedinginan, "gara-gara kamu, aku berperan antagonis, Julian!" ucapku sambil memukul lengannya. Mataku terus mengeluarkan air, aku tidak bisa menahan rasa sakit di dada.

"Aku mau, kita mengakhiri hubungan ini, Julian!" tambahku lalu meninggalkannya.

Aku berlari kecil meninggalkan mantan kekasihku sendirian berdiri di parkiran, aku tidak mau lagi berhubungan dengan lelaki itu, aku sangat merasa bersalah kepada ayah dan ibu.

Tuhan, kenapa dunia ini begitu sempit?

Kenapa harus aku berperan antagonis dikeluarga ini?

Benar kata orang, kalau angka 13 itu pembawa sial, ini pertama kalinya aku merayakan hari jadi penuh dengan masalah, semuanya terungkap dibalik keberadaan Abel, ternyata lelaki yang membuat saudara angkatku mengalami gangguang mental adalah Julian.

Aku berusaha menghentikan isak tangisku, tetapi tetap saja nihil, aku sudah telanjur sayang dengan Julian, kenapa ada saja masalah yang menghampiriku. Kenapa Tuhan tidak pernah memberiku kebahagiaan?

Aku tidak tahu harus kemana, keluarga Pak Atmojo sudah sangat membenciku, harapanku satu-satunya adalah keluarga Pak Atmojo. Tapi, kepercayaan mereka untukku sudah lenyap, hancur hingga berkeping-keping.

Aku terus berjalan sepanjang jalanan yang diguyur hujan, aku tidak bisa melihat jalanan dengan jelas, apalagi jarak yang jauh. Aku ingin berteduh, tubuhku sudah sangat tidak kuat menahan dinginnya malam ini, aku melihat ada sebuah konter di seberang sana, aku memilih untuk berteduh di konter itu.

Tinn....

Suara klakson mengejutkanku saat aku hendak menyebrang jalan, tubuhku serasa tidak bisa digerakan, cahaya lampu sorotnya mencekam indera pengelihatanku, tubuhku terasa melayang di udara, aku tidak tahu ....

Nasibku selanjutnya ....

***

Author's note :

Tumben panjang ceritanya.
Maafkan aku kalau gak dapet feel-nya :') Oke. Ini part yang dramatikal banget. Kenapa panjang? Karena bagiku ini adalah  puncak klimaksnya, dan beberapa part lagi akan tamat💯

Semoga kalian suka ya

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang