empat

739 203 219
                                    

Hujan terus mengguyur kota, jalanan, dan Panti ini, kebiasaanku saat hujan turun, menghayal dan meminta kepada Tuhan tentang keluarga. Aku terduduk di kasur, menatap langit gelap.

"Dita!!!" seru Sari yang mulutnya dipenuhi busa pasta gigi, untung saja tidak muncrat ke wajahku.

"Kumur dulu, jorok!" Setelah ia menuruti perkataanku, ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang, "ada apa, Hapsari?" tanyaku.

"Lelaki tampan itu balik ke Panti!" seru Sari. "Kamu siap-siap, kayaknya dia akan menuju kamar kita!" Kebiasaan Sari membuat diriku kesal, berbicara dengan nada yang sangat tinggi.

Suara ketukan pintu mengejutkanku dan Sari, mata Sari mengisyaratkan 'lelaki tampan itu datang!' Aku pun bangun dari dudukku, lalu melangkahkan kakiku untuk membuka pintu. Terlihat seseorang mengenakan kemeja polos dan celana jeansnya tengah berdiri di depan pintu kamarku.

"Hei, apa kamu yang memiliki jaket ini?" tanyanya dengan senyum yang mengembang. Aku menoleh kanan-kiri, sekumpulan perempuan sebayaku tengah melihatku dengan lelaki asing ini, aku tidak mau mereka melaporkan kepada Ibu Panti.

Tanganku merebut jaket usang itu dari tangannya, "Iya, terima kasih!" ucapku lalu menutup pintu. Ia mengetuk lagi pintu kamarku, aku tidak mau membukanya. Sari yang sangat menggemari lelaki  itu dengan sigap membuka pintu.

"Apakah kamu temannya?" tanya lelaki itu. Aku mendengar percakapan mereka. Bagaimana tidak? Lelaki asing itu dan Sari sama-sama berbicara dengan nada yang keras.

"Iya. Perkenalkan namaku Hapsari, dan nama temanku yang tadi, Pandita Pandit," ucap Sari. Mataku melotot saat Sari menyebutkan namaku, biasanya aku tidak akan menyebutkan namaku kepada orang yang baru ku kenal.

"Oh, namaku Julian, salam kenal." balasnya.

Sari pun menutup pintu dan aku yakin lelaki itu sudah pergi, kalau belum pergi, Sari tidak mungkin akan menutup pintu kamar. "Namanya Julian," kata Sari sambil mendaratkan pantatnya ke kasur.

"Aku sudah tahu," jawabku ketus.

"Kamu menguping, ya?" tuduhnya.

Aku tidak membalas lagi, lebih baik aku merebahkan tubuhku dan memejamkan mata. Aku sudah lelah  mendengar Sari berbicara, aku juga harus banyak istirahat untuk menstabilkan kondisiku.

***

Suara ayam berkokok terdengar jelas, aku membuka mata lalu membangunkan Sari yang masih terlelap. Tubuhnya mengeluarkan suhu yang panas, aku memegang dahinya, tidak kalah panas dari tubuhnya. Aku segera berlari menuju ruang Ibu Panti. Di pertengahan jalan, aku diberhentikan oleh Gangga.

"Apa kamu akan pergi?" tanya Gangga, pasti ia berperasangka kalau aku akan pergi dari Panti.

"Tidak, bantu aku!" ucapku dengan napas terengah-engah. "Bantu aku, Sari sakit. Tubuhnya panas sekali!"

"Tenang, Pandita," katanya menenangkan diriku. "Sekarang aku ke ruang Ibu, kamu diam di kamar, menjaga Sari, oke?" Aku pun mengangguk.

Aku berlari, pikiranku berantakan, ini salah satu yang aku takutkan kalau aku pergi dari Panti ini, kalau sakit tidak ada yang mengurus. Sesampainya aku di kamar, aku masih melihat Sari terkulai lemas di ranjang.

"Kamu tidak apa-apa, Sari?" tanyaku yang sangat khawatir.

Sari membuka matanya, tatapannya sangat lemah. "Aku tidak apa-apa, hanya butuh istirahat yang banyak saja," ucapnya dengan suara yang melemah.

Pintu kamarku tiba-tiba saja terbuka, terlihat Ibu Panti dan Gangga masuk ke kamarku. Raut wajah Ibu Panti panik, sedangkan Gangga dan aku langsung menyetop angkutan umum yang lewat di pagi hari.

"Aku tidak apa-apa, bu," kata Sari lirih.


***

Semoga kalian suka ya.

-Terima Kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang