dua-puluh-empat

585 58 66
                                    

Anggap saja hujan itu rintangan, dan pelangi itu kesuksesan. Jadi, lewati hujan dahulu, agar dapat melihat pelangi.

-someone-


***

Air hujan mengguyur bumi beserta isinya. Aku yang tengah terduduk di ruang tengah dikejutkan oleh saudara angkatku, Abel. Ia mendaratkan pantatnya di sofa yang aku duduki.

"Kamu cantik sekali, Dita," katanya. Aku pun tersipu malu oleh perkataannya.

"Ah, aku 'kan cewek, wajar dong kalau aku cantik," balasku penuh tawa dan candaan.

Abel terlihat tertawa. Entah kenapa kehangatan menjalar ke tubuhku, terlihat ibu dan ayah tengah memperhatikanku dengan penuh senyum yang menghangatkan.

"Pandita, kau sudah dijemput oleh Gangga," kata ayah menggodaku.

"Ayah ada-ada saja," elakku seraya melempar senyum malu-malu ke arah ayah dan ibu, "Pandit pergi dulu," pamitku kepada ayah, ibu, dan Abel.

Aku pun berlari kecil memasuki mobil Gangga, omong-omong soal Gangga, ia sudah bekerja sebagai kepala chef  disalah satu hotel berbintang 5. Cita-citanya sejak dulu, sudah tercapai olehnya.

"Kamu tidak bekerja?" tanyaku.

"Lebih baik aku menghabiskan waktu senjaku bersamamu," katanya sambil fokus menyetir.

Aku hanya senyum-senyum sendirian di dalam mobil, entah kenapa setiap aku di dekat Gangga, dadaku berdebar sangat cepat, beda pada saat aku menjalin hubungan dengan Julian. Aku sudah mengingat semua tentang masa laluku yang kelam, tentang masa laluku yang sangat menyedihkan. Berkat Gangga, aku mengingat semuanya.

"Ayo turun, jangan senyum-senyum terus, seperti orang enggak waras," celetuknya.

Apakah sedari tadi aku senyum-senyum sendirian?

Aku menggelengkan kepala, agar fokus  dan tidak salah tingkah di depan Gangga. Aku pun berjalan di lorong restaurant, suasana restaurantnya sangat sepi, tidak ada satu pengunjung yang datang. Aku menolehkan kepalaku ke arah kamar hotel, sangatlah sunyi.

"Apa kamu bekerja di sini?" tanyaku.

"Sudah jangan banyak bertanya, silakan duduk!" suruhnya seraya mengacakkan rambutku, "kamu tunggu di sini dulu ya, aku hendak mencari temanku," pamitnya, aku pun mengangguk.

Punggung Gangga sudah tidak terlihat lagi, aku pun menopang dagu, menunggu kehadirannya. Seseorang mengejutkanku dengan menepuk bahuku, "boleh saya lihat menunya?" tanyaku, ternyata seorang pelayan mengejutkanku. Pelayan itu pun segera memberikan menu yang bersampul air hujan, cukup unik. Aku pun membukanya.

Maukah kau menjadi kekasihku?

Aku menekukkan alis, apa maksud semua ini? Aku pun membuka lembar kedua menu itu.

Lihat ke belakang, kalau kau ingin menjadi kekasihku.

Aku benar-benar tidak mengerti, aku melirik pelayan perempuan itu, aku ingin bertanya kepadanya, tetapi ia menyuruhku untuk melihat ke  belakang, aku pun menuruti perkataannya.

TERIMA KASIH
APA KAU YAKIN MENJADI KEKASIHKU?
PANGGIL NAMAKU, KALAU KAU YAKIN.
-GANGGA-

Aku membaca deretan huruf itu. Aku merasa terharu, aku ingin menangis sekarang juga, aku ingin air mataku dilarutkan bersamaan dengan turunnya hujan. Aku mengatupkan bibirku, aku ragu.

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang