sebelas

282 87 93
                                    

Aku dibangunkan oleh suara dering yang berasal dari benda kotak yang persis seperti milik Julian, benda itu memunculkan nama Julian, segera aku mengangkatnya. Kami pun bercakap-cakap sampai tawaku pecah dan berhasil membuat teman sekamarku terbangun.

"Pagi-pagi sudah telponan saja," sindir Sari. Aku hanya melempar cengiran kearahnya dan aku memberikan kode kepadanya agar ia tidak berisik, aku sedang berbicara dengan Julian.

"Julian, aku tutup dulu ya," pamitku, segera aku menekan ikon merah yang muncul di layar handphoneku.

Sari menarik lenganku untuk mengerjakan tugas untuk memasak, hari ini tugasku memasak, tetapi aku harus membersihkan toilet terlebih dahulu bersama Gangga. Sari pun pamit untuk duluan menuju dapur, sedangkan aku berlari kecil menuju kamar Gangga.

"Gangga, ada?" tanyaku kepada Anton, teman sekamar Gangga. Anton hanya mengedikan bahunya, lalu pergi meninggalkanku sendirian.

Dasar, aneh.

Aku pun menuju toilet perempuan sendirian, langkahku terhenti saat mendengar bisikan anak-anak sebayaku, aku pun mendekati kerumuan mereka.

"Iya, dia kemarin pamit ke Ibu Panti,"

"Padahal 'kan dia anak kesayangan Ibu Panti,"

Aku mulai penasaran, siapa anak kesayangan Ibu Panti, aku pun mengangkat suara, "siapa anak kesayangan Ibu Panti?" celetukku. Mata mereka langsung tertuju padaku.

"Gangga-lah," kata Yulia. "Kamu tidak tahu kemarin malam Ibu Panti menangis, karena ditinggal oleh Gangga?" tambahnya. Aku hanya diam dan melongo, aku belum mengerti apa yang dikatakan oleh Yulia.

"Maksud kamu apa?" tanyaku dengan suara yang pecah.

"Gangga pamit untuk melanjutkan hidupnya secara mandiri," jelasnya.

Kali ini aku mengerti kenapa Anton tidak mau memberti tahuku, pasti Gangga menyuruhnya agar aku tidak tahu hal itu. Aku pun berlari mrncari keberadaan Anton, teman sekamar Gangga. Air mataku tidak terbendung lagi, tetes demi tetes jatuh dari pelupuk mataku, aku sangat merasa kehilangan Gangga.

"Anton!" panggilku sedikit berteriak. Empunya pun menolehkan kepalanya, "Gangga dimana?" tanyaku dengan suara yang parau.

Anton hanya diam dan menunduk, "jawab pertanyaanku. Jangan hanya diam, Anton!" Pintaku.

"Ma... af," katanya lalu pergi dari lorong kamar. Aku menatap punggungnya sudah hilang, ia masuk ke biliknya.

Air mataku terus membasahi pipiku, apa aku harus membiasakan hidup tanpa Gangga? Aku belum siap hidup tanpa Gangga, hanya lelaki itu yang mengertiku, hanya lelaki itu yang bisa membuatku nyaman dan aku yakin hanya lelaki itu yang mau melindungiku dikala hujan turun.

Aku memeluk jaket usang yang pernah diberikan oleh Gangga. Air mataku tidak segan-segan jatuh ke jaket itu, tangisku tak terdengar karena diluar hujan sedang turun sangat deras.

"Dita, kamu kenapa?" seru Sari saat melihat mataku yang mulai membengkak.

Aku mulai menahan air mataku untuk keluar, aku berusaha agar tidak terlihat lemah di depan Sari, hatiku benar-benar rapuh saat kehilangan Gangga, kehilangan bukan berarti ia meninggal, tapi ia memilih untuk pergi dari Panti.

"Hidup mandiri ya? Punya, tetapi aku tidak punya tempat tinggal, makanya aku memutuskan masih diam disini, aku juga kasihan kepada Ibu Panti yang sudah semakin renta,"

Katamu, kamu kasihan kepada Ibu Panti, kenapa sekarang kamu meninggalkan Ibu Panti, aku, Sari, Anton, dan anak Panti lainnya? Kamu yang pernah membuatku labil untuk memilih hidup mandiri, kamu sendiri yang memilih untuk hidup mandiri.

Kamu jahat, Gangga.

"Apa kamu tidak kasihan kepada Ibu Panti? Aku takut kalau kamu pergi, aku merindukanmu, Pandita!"

Belum 24 jam kamu meninggalkanku, aku sudah merindukanmu, Gangga.


***

Author's note :

Gangga aku juga akan merindukkanmu. Disaat orang yang benar-benar berarti dihidup kita pergi, barulah kita menyadari keberadaannya :')

Semoga kalian suka ya

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang