lima-belas

256 71 28
                                    

Aku masih menahan tangis di dalam mobil Julian, aku sangat merindukan Gangga, hatiku terasa diremas, sakit sekali. Entah kenapa rasa cintaku dahulu, datang lagi. Gangga tidak pernah tahu kalau aku mencintainya juga.

"Sayang. Kamu harus bisa melupakannya, aku tahu kalau itu sangat sulit bagimu," katanya sambil mengelus puncak kepalaku penuh sayang. Aku masih cegukan, akibat menangis. "Nanti suara kamu hilang dan tidak dapat bekerja lagi," seketika aku berhenti, aku menghapus sisa air mataku.

"Julian, antar aku ke rumah!" suruhku.

Julian pun mengangguk, awalnya ia hendak mengajakku jalan-jalan ke festival kota, karena suasana hatiku yang buruk membuatku tidak ingin kemana-mana, aku memilih untuk tidur di rumah.

"Istirahat yang banyak, sayang!" pesannya. Aku hanya mengangguk, "aku selalu mencintaimu, Pandita!" Lalu mobilnya sudah melesat jauh dari pandanganku, aku segera menutup pintu pagar dengan cepat karena hujan masih turun.

Sejauh ini aku belum pernah memanggil kekasih  dengan sebutan 'sayang' beda dengan Julian yang tiada henti memanggilku 'sayang' entah kenapa bibirku kaku untuk memanggilnya 'sayang' apa mungkin aku tidak mencintai Julian?

Ah! Aku menepuk keningku, aku tidak boleh berpikiran negatif  tentang hubunganku dengan Julian. Kalau aku tidak mencintainya, kenapa aku menjadi kekasihnya?

"Pandit pulang," kataku dengan lemah, mungkin ayah dan ibu tidak mendengar perkataanku karena suaraku kelam dalam suara rintik hujan.

Aku segera memasuki kamar untuk membersihkan diri lalu istirahat, kepalaku sudah terasa sangat berat, mataku sudah mengantuk. Aku melirik jam dinding, 8.00 pm. Aku melangkahkan kaki secara malas.

Setelah badanku tidak lagi terasa lengket, aku segera merebahkan diri di kasur, aku siap untuk hari esok.

***

Suara klakson mobil menyadarkanku dari lamunan, sarapan yang disediakan oleh ibu belum sempat aku cicipi. Julian tengah menantiku di ruang tamu. Aku pun pamit kepada ayah dan ibu untuk bekerja, begitu pula dengan Julian, ia mencium punggung tangan ayah dan ibu.

"Nak Julian, tidak bekerja?" tanya ibu.

Julian tersenyum, "pekerjaanku lagi sedikit bu, nanti setelah ku antar Pandita, aku akan melanjutkan pekerjaanku," katanya dengan cengiran tanpa dosa.

Aku dan Julian pun memasuki mobil, "Julian, maafkan aku soal kemarin," kataku penuh kesalahan.

Julian memegang tanganku, "lupakan hal kemarin, kita sambut masa depan yang cerah," ucapnya. Aku pun mengangguk.

Sekitar 20 menit, aku sampai di tempat kerjaku, setelah melakukan 'high five' dengan kekasihku, aku pun keluar dari mobilnya dan masuk ke kafē, tempatku bekerja. Sedangkan Julian, meninggalkanku.

"Selamat pagi, Pandita!" sapa Sari yang sudah berada di Gold Kafē. Ya, Sari dan aku sama-sama bekerja di tempat yang sama, tetapi nasib Sari tidak seberuntung nasibku, ia tidak diadopsi melainkan ia memilih untuk hidup mandiri, untuk sementara, Tuan memberinya tinggal di ruang belakang Gold Kafē.

"Selamat pagi juga, Sari!" sapaku balik, aku segera menuju loker, untuk mengambil baju ganti.

"Dita, maafkan aku, kemarin tidak menontonmu," katanya sambil mengikutiku ke ruang ganti.

Aku menepuk pipinya penuh sayang, "kamu beruntung tidak menontonku, penampilanku kemarin, hancur!" ujarku dengan menekankan kata hancur.

Mata Sari terbelalak, "rumor itu benar?" tanyanya. Aku mengangguk, mengiyakan rumor yang beredar.

Beberapa pengunjung terlihat sedang menikmati lagu yang aku bawakan. Satu per satu datang lalu pergi dari kafē ini, perlahan kafē ini banyak pengunjungnya. Aku pun turun dari panggung karena lagu yang aku bawakan sudah selesai.

"Pandita, kau membawa banyak pengunjung ke sini, hebat!" kata Tuan sambil menepuk bahuku, aku hanya melempar senyum ke Tuan.

Sudah 1 jam aku menunggu Julian untuk menjemputku, hari ini ia sudah janji menjemputku tepat waktu, tetapi sudah 1 jam aku menunggu, batang hidungnya tidak terlihat sampai sekarang.

Suara klakson membuatku tersentak, aku bangkit dari duduk, menghampirinya yang sudah berada di dalam mobil. "Maafkan aku, sayang," katanya dengan tatapan penuh kesalahan.

"Tidak apa-apa, sudah syukur kamu menjemputku," kataku menepuk pipinya dengan sayang.

"Bagaimana kita sekarang makan di luar?" Ajaknya. Aku pun menyetujui ajakan Julian, "lapor dulu ke ayah dan ibu!"

***

Author's  note :

Pandita kok suka banget nepuk pipi dengan sayang? Haha.

Semoga kalian suka ya

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang