dua-puluh

247 59 39
                                    

Suara telepon mengejutkanku, sentak aku membuka mata lalu menggeser ikon hijau. Aku tidak tahu siapa yang menelponku, aku tidak bisa membaca jelas nama yang tertera di layar, karena mataku masih mengantuk. Suara lelaki yang bernama Julian berhasil membuat mataku terbuka lebar-lebar. Aku segera bangkit dari kasur menuju garasi.

Ragaku berdiri di hadapannya, sedangkan jiwaku masih ingin menggeliat di atas ranjang. Aku masih sangat mengantuk. "Kamu tidak bekerja?" tanyaku.

"Tidak, aku lebih baik merayakan hari jadi kita ke 1 tahun," katanya dengan senyum yang mengembang. Aku menepuk jidat, aku tidak menyadari kalau sekarang adalah tanggal 13 Desember. Julian menyentil dahiku, "kamu tidak ingat?"

"Maafkan aku ...," ucapku gemas lalu memeluk tubuh Julian, ia pun membalas pelukanku sampai suara deheman seseorang menyadarkanku harus melepas pelukan Julian.

Aku mendapati ayah dan ibu tengah berdiri di dekat kami, aku pun melempar cengiran lalu menuju kamar untuk mempercantik diri, pasalnya Julian akan membawaku ke tempat spesial. Setelah aku mengenakan gaun pastel dan heels yang tidak terlalu tinggi, aku pun pamit kepada ayah dan ibu.

"Hati-hati ya, nak Julian, jaga Pandita baik-baik," pesan ibu. Julian pun memberi hormat kepada
ibu, aku pun terkekeh melihat aksinya yang konyol itu.

Aku memasuki mobilnya dan duduk disebelah Julian, lelaki yang mengenakan luaran kemeja terlihat sangat senang hari ini, "makasih sayang, kamu mau menemaniku selama satu tahun ini," katanya membuka pembicaraan.

"Sama-sama ...," kataku menggantung, "sayang," lanjutku penuh malu-malu, Julian hanya tertawa kecil.

Banyak orang berkata kalau angka 13 itu adalah angka yang buruk, tetapi tidak bagiku dan Julian, aku selalu merasa senang bisa mengenalnya sampai sejauh ini, Julian tidak percaya akan hal ramalan angka tersebut, ia pernah berpesan kepadaku, 'kalau kita sudah saling mempercayai, seberat apapun rintangan yang kita hadapai, kita bisa lalui bersama-sama.'

Buliran air mengguyur jalanan, Julian terlihat relax, bibirnya tampak bergerak, ia sedang bersenandung. Di dalam mobil hanya lantunan lagu memecah keheningan kami.

You just want attention

You don't want my heart

Maybe you just hate the thougt of me with someone new

Yeah, you just want attention

I knew from the start

You're just making sure I'm never gettin' over you

"Jadi ingat Gangga," celetuk Julian.

Aku menoleh, "apa maksudmu?" tanyaku dengan tatapan datar.

"Tidak apa-apa," balasnya dengan wajah yang santai.

Aku pun menghela napas, berusaha melupakan apa yang dikatakan oleh Julian tadi. Mobil Julian pun berhenti disalah satu gedung yang asing bagiku, aku melirik jam tangan yang aku kenakan di tangan kiri, hampir 1 jam perjalanan kami.

"Ayo masuk," katanya. Aku pun berjalan disebelahnya. Tanganku tiba-tiba digenggam olehnya, aku sedikit merasa hangat dan nyaman saat Julian memegang tanganku.

Aku masuk ke dalam gedung itu bersama Julian, aku sedikit terkejut saat lampu menyala, aku mendapati sebuah kue besar, bucket bunga dan foto kami yang dibingkai lalu dipajang disebuah tembok. Aku terharu dengan kejutan ini, segera aku memeluk tubuh Julian.

"Terima kasih, Julian," kataku ditemani oleh derai air mata haru.

"Aku selalu menatap foto ini kalau aku sedang merindukanmu, Pandita," tuturnya, aku pun mencubit lengan Julian.

Aku baru tahu ternyata aku diajak ke rumah Julian, ia tidak pernah membawaku kerumahnya, baru kali ini aku memasuki istananya.

"Pandita pulang dulu ya, ma, pa," pamitku kepada orang tua Julian, mereka pun sangat ramah kepadaku. Aku pun diantar memasuki mobil Julian lagi, ia akan mengantarku pulang.

"Belum sore, kamu akan kemana? Jalan-jalan ke mall?" tanyanya.

"Aku ingin ke tempat terapi saudara angkatku," kataku.

"Dimana?" Tanya Julian.

"Jalan Cempaka dekat Rumah Sakit Jiwa, kata ibu, hari ini ia ada terapi,"


***






Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang