tiga-belas

247 83 38
                                    

Suara hujan terdengar jelas di indera pendengaranku. Suara hujan membuat mataku terbuka. Aku melirik keluar, embusan angin berhasil membuat dedauan rontok dari empunya. Kasihan sekali pohon itu, ia harus kehilangan daun-daun yang selama ini bersamanya, melindunginya. Sama sepertiku, aku kehilangan Gangga yang selalu melindungiku, terutama pada saat hujan turun.

Aku pun memutar kepala, mendapati Sari tengah tertidur sangat pulas, tubuhnya yang tidak diselimuti oleh selimut membuatku berinisitatif untuk menyelimutinya. "Semoga kamu selalu bersamaku, Sari." gumamku.

Mataku yang hendak terpejam lagi dibatalkan oleh suara dering teleponku, aku mengambilnya di nakas. Layar benda kotak itu memunculkan nama seseorang yang berhasil mengukir senyuman diwajahku.

Julian.

Belakangan ini, ia sangat rutin menelponku di pagi hari, apa ia sudah tahu tentang Gangga yang sudah diadopsi? Atau dia hanya kesepian lalu menelponku? Aku pun menggeser ikon hijau, lalu ku tempelkan benda kotak itu di telingaku.

"Hai, Pandita!"

"Hai juga, Julian!"

"Suara kamu kenapa? Kamu lagi sakit?" tanyanya yang menyadari suaraku hilang, tidak sepenuhnya hilang.

"Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?" tanyaku.

"Aku baik juga," katanya. "Bagaimana nanti kita bertemu? Ajak Gangga juga," tambahnya.

Asal kamu tahu Julian, aku ingin menceritakan ini semua kepadamu tapi aku belum siap menampilkan wajah jelekku saat menangis di hadapanmu.

Sari menggeliat di kasur. Perlahan matanya terbuka, alisnya ditekuk, aku tidak tahu arti tatapannya itu, "kenapa?" tanyaku sedikit sinis.

"Kamu sakit?" tanya Sari. Sama persis apa yang dikatakan oleh Julian. Memangnya ada masalah dengan wajahku? Apa wajahku tampak memutih atau bagaimana?

Aku menggeleng pelan, "Memangnya kenapa?" tanyaku.

"Suaramu hilang, Pandita!" ketaranya.

Aku memutar mata, sebelum ia mengetarakan suaraku yang hilang, aku sudah tahu terlebih dahulu. Aku memilih untuk bangkit dari ranjangku, "cepatlah berkemas, sekarang giliran kita mendapat tugas memasak lagi," kataku menyindir Sari agar cepat bangun dari tidurnya.

Aku pun memilih untuk pergi ke dapur duluan, mataku tiba-tiba saja tertuju pada kertas yang menyelip di celah-celah pintu kamarku, "Apa ini?" gumamku sembari mengambil kertas putih itu.

Selamat pagi Pandita Pandit, bagaimana kabarmu? Aku rasa kamu tahu siapa aku, aku adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang sangat senang bisa menjadi teman dekatmu, bisa melindungimu dari dinginnya musim dingin, dari cahaya kilat,  maupun suara guntur yang riuh. Apa kamu masih takut  akan hal itu semua?  Aku harap kamu tidak takut lagi, ya!

Hai. Pandita Pandit, aku akan memberitahumu sesuatu yang menyenangkan, aku sudah bekerja, menjadi juru masak :) aku ingin kamu raih cita-citamu menjadi penyanyi kafē. Aku janji, kalau aku sudah diberi gaji, aku akan mentraktirmu dan juga Sari. Pasti kamu senang 'kan?

Oiya, satu lagi, AKU MENCINTAIMU PANDITA. Tapi aku tahu, kamu pasti mencintai lelaki mapan itu. Aku tahu, selama ini kamu menganggap pernyataan sayang kepadamu hanya bercanda, aku sudah dewasa, tidak mau lagi bercanda akan hal cinta. Walaupun kamu memilih lelaki itu, aku tetap mencintaimu.

Dan...

Kalau kamu ingin membuang surat ini boleh saja, tapi ingat, BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA! :D

-Gangga-

Hatiku rasanya diremas-remas, dadaku rasanya dipukul bagai samsak seorang petinju, tanganku seperti disambar petir, bibirku bergetar, pandanganku buram, karena mataku dipenuhi oleh genangan air, buliran bening jatuh perlahan ke kertas itu, tulisan tangan Gangga menjadi kabur, tinta-tintanya menjalar sehingga tulisan tangan Gangga tak terbentuk surat lagi.


***

Author's note :

Selamat ya, Gangga. Udah dapet pekerjaan, dan rajin-rajin mengirimkan Pandita surat :)

Semoga kalian suka

-Terima kasih-

Aku, Kau, dan Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang