Dua

2.6K 102 24
                                    

"Umi, Bara nanti mau ngajar dulu ya di pesantren," izin Bara pada uminya yang tengah membereskan bekas sarapan keluarganya.

Nama lelaki itu Bara, Bara Tamada lengkapnya. Ia adalah salah seorang pengacara yang namanya saat ini sedang marak diperbincangkan publik karena sebuah kasus yang ia menangkan saat itu.

Selain menjadi pengacara, Bara juga ikut serta aktif dalam mengajar di pesantren milik keluarganya itu.

"Iya udah, sana nanti terlambat," kata Fatimah--umi bara--tersenyum. Bara pun langsung mengambil tasnya dan langsung berjalan melangkah pelan.

"Hey?" Panggil Fatimah.

Merasa terpanggil Bara pun menoleh ke Fatimah dengan tatapan penuh tanya 'ada apa umi?'.

"Kok gak salim sih?" Kata Fatimah menatap Bara.

"Tangan Umi kotor, Bara mau salim ke Abi aja di depan, ya udah Bara berangkat ya Umi, Assalamualaikum," pamit Bara meninggalkan Fatimah dengan tatapan sulit diekspresikan.

"Bi? Bara berangkat, ya?" Izin Bara saat berada sampai di hadapan Bara.

"Mau ngajar, ya?" Tanya Adam--abi Bara--menatap Bara.

"Iya Bi, takut telat nih," kata Bara yang mendapatkan anggukan oleh Adam, setelah itu Bara pun mencium telapak tangan Adam dan meninggalkan perkarangan rumahnya. "Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumsallam," jawab Adam.

Bara menuju pesantrennya, ia tidak menggunakan kendaraan, karena pesantrennya tidak lah jauh, malah di sebelah rumahnya.

Tak butuh waktu lama ia pun sampai di pesantrennya dan langsung memasuki kelas untuk mengajar.

* * *

"Sampai disini dulu ya pelajarannya, minggu depan kita lanjut lagi," kata Bara mengakhir jam pelajarannya. "Semuanya sudah paham 'kan apa yang kakak sampaikan tadi?" Tanyanya.

"Paham kak," sahut para santri.

"Kalau begitu, kakak ke kantor dulu, ya? Assalamualaikum," kata Bara meninggalkan kelasnya tepat saat para santri menjawab salam darinya.

Ia pun berjalan pelan dan sebenarnya ia tak tahu harus kemana, jam mengajarnya sudah habis dan yang tadi adalah kelas terakhir.

Ia pun lebih memilih menuju sebuah gazebo yang terletak tidak begitu jauh dari asrama wanita, di sana adalah tempat ternyaman menurut Bara, tepat di bawahnya terdapat sebuah kolam, dengan air jernih yang diisi berbagai jenis ikan dan beberapa tanaman teratai. Di sekelilingnya terdapat berbagai macam tanaman hias, yang menambah kesan tentramnya.

Bara memejamkan matanya sambil berulang kali menghirup udara dalam-dalam dan dihembuskannya secara perlahan.

Perlahan senyumnya mengembang, selalu begitu. Tempat favoritnya ini selalu bisa melepas segala penatnya dan membuatnya kembali tersenyum senang.

"Kak Bara?" Panggil seorang wanita dari belakang Bara.

Bara sudah amat sangat mengenal suara itu, tanpa menoleh pun dia tahu wanita itu siapa.

"Ada apa Naysila?" Tanya Bara tersenyum, walau tidak bisa di lihat wanita itu--Naysila--.

"Tidak ada apa-apa," kata Naysila tertunduk.

Bara mendenguskan napasnya pelan lalu memutar balikkan tubuhnya. "Kau tahu, kita hanya berdua disini dan kita bisa menimbulkan fitnah Nay," kata Bara tegas.

"Ayah bertanya, kapan kamu ingin mengkhitbah aku?" Tanya Naysila yang masih tertunduk.

"Aku belum meminta izin ke Abi dan Umi," kata Bara yang juga tertunduk.

"Selalu seperti itu, apa memang kamu hanya ingin mempermainkan perasaanku kak Bara?" Kata Naysila yang langsung menatap Bara, air matanya mengalir lembut di pipinya.

"Bukan begitu maksudku Nay, aku mencintaimu," kata Bara menatap Naysila sekilas lalu tertunduk kembali.

Rasanya ia sangat begitu menyesal telah membuat orang yang ia cintai menangis karna dirinya. Mungkin jika sudah halal saat itu juga Bara ingin memeluknya dan meredakan tangisan Naysila. Tapi semua itu ia tahan.

tidak boleh Bara!

"Lalu kenapa kamu tidak juga mengkhitbah aku secepatnya?" Tanya Naysila terdengar lirih.

"A--aku hanya sedang memantaskan diriku dulu, Nay," kata Bara pelan.

"Tidak usah menjadi sempurna kak Bara, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Aku hanya ingin kita berjalan berdampingan, bersama-sama untuk menuju jalan yang lebih baik. Tidak ada yang di depan dan tidak ada yang di belakang, agar tidak ada yang saling meninggalkan," kata Naysila tertunduk dengan kedua tangannya menutup wajahnya bermaksud menahan tangisannya.

"Baiklah, aku akan segera meminta izin kepada Abi dan Umi," kata Bara tersenyum memandang Naysila. "Jangan menagis, kakak tidak membawa uang untuk membelikanmu balon dan lolipop," kata Bara.

Naysila sempat terkekeh disela tangisnya, kemudian ia mengangkat wajahnya menatap Bara tersenyum. "Terimakasih," katanya yang langsung tertunduk.

* * *

Usai sholat isya berjamaah di masjid Bara dan Adam jalan berdampingan ke rumah, pasti Fatimah sudah menunggunya di rumah untuk segera makan malam.

"Abi, Bara ingin bicara sama Abi," kata Bara di tengah perjalanannya.

"Abi pun juga ingin bicara sama kamu nanti," kata Bara tersenyum penuh arti.

"Bicara apa Abi?" Tanya Bara penasaran.

"Toh ya kamu kepo banget sih, ya nanti saja lah di rumah," kata Adam terkekeh.

Bara hanya mendengus kesal dan mengeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Abi ini gaya banget sih, kayak tau aja apa artinya kepo?" Tanya Bara sembari melirik Adam.

"Ya tau dong, gini-gini Abi juga sedikit tau bahasa anak jaman sekarang, ya sama aja kayak jaman Abi dulu. Abi kamu ini gaul nak, masa anaknya gak gaul sih," kata Adam terkekeh.

Adam menghentikan langkahnya dan menatap Adam tak percaya, yang sudah berjalan jauh di depannya.

Ini bener Abi? Kok jadi begini sih? Batin Bara menggelengkan kepalanya pelan.

"Bara cepet! Abi sudah lapar gak tahan ingin makan masakkan Umi kamu itu," protes Adam ketika melihat Bara jauh di belakangnya.

"Iya Abi, sebentar," kata Bara.

Abi mau ngomong apa, ya? Pasti ngomongin pasangan, toh aku kan juga mau minta izin Abi buat khitbah orang, jadi kalau nanya soal pasangan aku jawabnya mudah pasti. Batin Bara bersorak-sorak.

My Bad WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang