"Bundaaaaaa!" Teriak Berlin dari ruang tengah.
"BUNNN!!" Teriaknya lagi, namun kini sudah naik satu oktaf dari yang sebelumnya.
"Ada apa sih? Kamu itu manggil Bunda udah kaya manggil tukang bakso yang rada budek yang sering lewat depan rumah kita," keluh Citra yang muncul dari arah dapur.
"Hehehe, lagian Bunda gak nyaut-nyaut aku panggil dari tadi," ucap Berlin terkekeh. "Aku keluar bentar ya Bun, boleh?" Kata Berlin dengan puppy eyesnya itu.
"Gak!" Kata Citra sambil melewati Berlin. .
"Ih Bunda mah jahat sama Berlin, ke depan komplek doang Bun, beli siomaynya mang Ujang," kata Berlin melas.
"Apaan, masa ketemu mang Ujang doang pake pakain serapih itu, yang ada kamu ngayap ke mana tau," ucap Citra seraya mengunci pintu rumahnya dan pergi menuju dapur kembali.
"BUNDA MAH, JANJI DEH GA PULANG MALEM-MALEM NANTI," kata Citra memohon.
"Sekali ngga ya ngga Berlin," kata Citra tak acuh. "Lagian kamu mah bilang gak pulang malem-malem, taunya malah pulang pagi, kan bego," ucap Citra datar.
"Anaknya sendiri malah dibilang bego Bunda mah," kata Berlin sembari membanting tubuhnya ke sofa ruang tengah. "Lagian kan yang penting aku gak pulang maelm, berarti aku gak ngelanggar janji aku lah Bun, gimanasih Bunda," kata Berlin mendengus kesal.
"Kamu ngerti gak sih, satu minggu lagi kamu itu nikah, dan sekarang kamu itu lagi Bunda pingit, paham cantik?" Kata Citra dengan nada jengkel. "Lagian masih untung Bunda cuma gak ngijinin kamu keluar rumah doang, apa mau Bunda sita semua keperluan kamu, kayak ponsel, kunci mobil, dompet, atm, dan lain lain, mau?" Ucap Citra menantang.
"Hehe, makasih deh Bun, Berlin gak mau," kata Berlin terkekeh. "Emang iya ya? Berlin satu minggu lagi menikah, Bun?" Kata Berlin polos lalu membenarkan posisi duduknya.
Tak lama Citra berjalan kearah Berlin dan mengelus lembut rambut anaknya tersebut. "Iya, anak Bunda sendikit lagi akan menikah," kata Citra lalu mengecup lembut ubun-ubun Berlin.
"Terus kalo Berlin sudah menikah, Berlin gak boleh tinggal di sini lagi dong, Bun?" Kata Berlin menatap Citra.
Citra terkekeh akan pertanyaan yang dilontarkan oleh anaknya itu. Jujur, walau umurnya dibilang dewasa, tingkahnya jauh sekali dari kata dewasa.
"Kok malah ketawa sih, Bun!" Keluh Berlin.
Citra mengambil posisi duduk di sebelah Berlin dan dipegang erat tangan anaknya itu.
"Tentu saja kamu boleh tinggal disini sayang, masa anak Bunda gak Bunda izinin tinggal dirumah orangtuanya sendiri sih," kata Citra terkekeh.
"Tapi kan kata ibu-ibu pengajian waktu itu, bagi seorang wanita yang telah menikah ia harus mengikuti suaminya kemana pun itu, dan sang wanita juga harus berbakti kepada sang suaminya tersebut," kata Berlin menatap kosong kedepan.
Citra menatap Berlin. "Sayang, kok tumben kamu pinter?" Tanyanya.
Berlin melepaskan genggamannya dari Citra. "Iihh Bunda, mah. Berlin lagi serius juga, Bunda malah begitu," Berlin memajukan bibirnya.
Citra terkekeh. "Berlin, pokoknya nanti kalau kamu sudah menikah, kamu harus berbakti ya sama suamimu nanti," ucap Citra mengelus kepala Berlin. "Dalam sebuah hubungan nanti, pasti ada sebuah pertikain. Bunda harap, ketika kamu menghadapi pertikaian itu, kamu bisa menghadapinya secara dewasa, jangan kayak anak kecil lagi," kata Citra.
Berlin menatap Citra. "Iya, Bun," Berlin memeluk Citra erat.
"Inget itu baik-baik, jangan masuk kuping kanan keluar kuping kiri," bisik Citra sembari membalas pelukan Berlin.
"Iya..iya Bundaaa," Berlin terkekeh.
* * *
Berlin PoV
Aku menghepaskan tubuhku di kasur. Sungguh, ini benar-benar masih terasa seperti mimpi. Satu minggu lagi, aku akan menikah dengan seorang lelaki yang belum aku kenal sepenuhnya.
Mungkin aku merasa hidupku ini seperti cerita-cerita di novel yang sudah kubaca selama ini. Walau begitu, aku tidak akan berharap seindah alur di novel-novel yang telah aku baca.
Aku menatap bingkai foto yang terdapat di atas laci sebelah ranjangku. Disana terdapat dua pasangan paruh baya yang sedang tertawa lepas, diantara mereka terdapat anak kecil yang mukanya belepotan akibat makan es krim. Pasangan paruh baya itu adalah Ayah dan Bundaku. Sementara, anak kecil yang belepotan itu adalah diriku sendiri.
Aku tertawa melihat foto itu.
Waktu seperti berjalan begitu cepat, tak terasa ternyata diriku akan menikah. Menempuh hidup baru. Mempunyai buah hati. Dan bahagia.
Aku kembali tertawa.
Hidup tidak mungkin seindah itu. Terlebih, jika aku akan menikah bukan dengan lelaki yang ku cintai. Akan sulit bagi ku untuk menerima kehadirannya, pasti.
Apakah nanti hidupku akan berakhir bahagia? Atau justru kebalikannya? Hidupku akan kacau, berantakan, dan tak menemukan kebahagian sedikit pun?
Aku sempat menertawakan diriku sendiri, lebih tepatnya menertawai nasibku sekarang ini.
Apa yang harus ku lakukan? Pasrah? Menerima semuanya? Atau malah aku harus menolak mentah-mentah semua perihal tentang perjodohan ini?
Aku iri dengan kisah mereka. Mereka yang bertemu dengan kekasih pujaannya, dan mereka menikah atas dasar suka satu sama lain.
Namun, disaat aku berfikir untuk menolak pernikahan itu, aku selalu teringat dengan Ayah dan Bunda. Mereka pasti akan sangat kecewa dengan ku.
Aku sudah menetapkan pilihanku. Aku akan menikah dengan lelaki pilihan mereka, dan belajar untuk mulai mencintainya, walau aku pikir itu akan sulit.
"Ahh.. kamu, sungguh benar-benar membuat hidupku berantakan," kataku sembari menutup wajahku dengan bantal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Wife
Spiritual[Spiritual - Romance] Mungkin memang kisah kita hanya berawal dari sebuah perjodohan, dimana sebuah perjodohan itu tidak terdapat celah sedikit pun untuk dapat dibatalkan. Setiap tingkah laku konyolmu seakan air yang dapat menumbuhkan setiap inci d...