Berlin terbangun dengan tubuh yang tidak dapat digerakan. Bara mendekap Berlin cukup kuat.
Berlin menghembuskan napasnya pelan. Ia melihat wajah Bara lekat-lekat. Matanya yang terpejam, dengkuran halusnya, posisi Bara yang sedang memeluk Berlin itu semua menjadi awal Berlin memulai harinya.
Berlin tersenyum, ia tersenyum lepas saat melihat Bara begitu nyaman dan pulas dengan tidurnya.
Berlin mengalihkan pandangannya, ia melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi.
Setelah itu Berlin kembali menatap wajah Bara. Ia menepuk pelan pipi Bara berulang kali.
"Bara, bangun!" Kata Berlin yang masing menepuk pelan pipi Bara itu.
"Ayo bangun! Sholat!" Berlin masih berusaha membangunkan Bara.
"Bara, ayo dong bangun! Pegel nih,"
Berlin mencoba untuk melepaskan tangan Bara dari dekapannya. Namun hasilnya nihil, dekapannya cukup kuat untuk dapat dilepas.
"Bara!" Kata Berlin dengan nada satu tingkat lebih tinggi.
Berlin menarik panjang napasnya dan membuangnya secara kasar.
Setelah itu Berlin mendorong muka Bara cukup kuat dengan tangannya.
"BANGUN BARA! SUSAH BANGET SIH—"
Bara yang seketika bangun langsung mencengkram kuat tangan Berlin yang masih berada di mukanya itu.
Berlin sempat sedikit kaget karena Bara yang tiba-tiba mencengkram tangannya.
Bara menyingkirkan tangan itu dari mukanya. Setelah itu Bara dapat melihat dengan jelas wajah Berlin yang berada di sampingnya.
Bara tersenyum. Sementara Berlin sudah salah tingkah melihat senyuman Bara, dia berusaha untuk melepaskan cengkraman Bara dari tangannya.
"Bara lepasin Berlin! Sakit! Cepet Sholat!" Berlin berdecak sebal.
Bara masih tidak perduli, ia masih mencengkram kuat-kuat tangan Berlin. Usaha Berlin nihil, cengkraman Bara lebih kuat daripada tenaga yang ia miliki.
"Bara lepas gak!" Kata Berlin memandang wajah Bara dengan tatapan marah.
Dengan tangan yang masih mencengkram kuat Berlin, lalu Bara menghapus jarak antara mereka, antara kedua wajah mereka.
Secara perlahan namun pasti, Bara mengecup bibir mungil Berlin. Berlin terpejam saat bibir mereka bertemu.
Sedetik kemudian Bara melepaskan kecupannya itu, seraya melepaskan cengkramannya dari tangan Berlin.
Berlin masih belum tersadar dari apa yang telah terjadi barusan. Ia masih melamun tidak percaya kalau dirinya telah dikecup oleh Bara.
"Anggap aja itu morning kiss," kata Bara yang sudah berdiri memecah lamunan Berlin.
Berlin tersadar, ia tidak berani menatap Bara, malu. Berlin mengalihkan pandangannya, pipinya terasa panas menahan malu.
"UDAH JAM LIMA CEPETAN SHOLAT!"
"Iya sayang, besok pagi morning kiss lagi, ya?" Kata Bara menyeringai.
"APAAN BAU JIGONG GITU BELOM SIKAT GIGI ASTAGFIRULLAH JIJIK," teriak Berlin sambil memeragakan mual-mual akibat dikecup oleh Bara.
Bara terkekeh melihat ekspresi wajah dan tingkah laku Berlin yang sedang salah tingkah seperti itu.
Bara mengalihkan padangannya, seketika Bara melotot kaget saat melihat warna darah yang berada di atas kasur mereka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Wife
Spiritual[Spiritual - Romance] Mungkin memang kisah kita hanya berawal dari sebuah perjodohan, dimana sebuah perjodohan itu tidak terdapat celah sedikit pun untuk dapat dibatalkan. Setiap tingkah laku konyolmu seakan air yang dapat menumbuhkan setiap inci d...