Kini jam sudah menunjukan pukul 10 malam.
Berlin masih mengenakan baju pengantinnya sedari tadi. Ia hanya duduk berdiam diri di tepi ranjang dan entah apa yang harus kini ia lakukan sekarang.
Hari yang cukup lelah untuk dirinya. Ia harus berdiri kurang lebih 8 jam hanya untuk menerima ucapan-ucapan selamat dari teman maupun kerabatnya diacara resepsi tadi.
Berlin mengembuskan napasnya pelan. "Gue harus ngapain," ucapnya pelan.
"Lebih baik kamu mandi agar lebih fresh lagi," ucap Bara tiba-tiba.
Berlin terhentak saat mendengar suara Bara, ia memegangi dadanya akibat degup jantung yang sudah tidak normal.
"Lo?" Kata Berlin sambil mengerutkan keningnya saat menatap Bara.
"Maaf bila itu membuatmu kaget," kata Bara sambil berjalan dan duduk di sofa tidak jauh dari ranjangnya.
"Jadi, kamu duluan atau aku duluan yang mandi?" Tanya Bara sambil menaikan alisnya sebelah.
"Hm, gu--gue deh," kata Berlin gugup.
Bara hanya bergumam sebagai jawaban.
Berlin langsung bergegas menuju kamar mandi untuk membilas tubuhnya yang sedari tadi sudah lengket.
Sementara Bara memainkan ponselnya, terlihat disana sudah banyak notif pesan dari teman-temanya yang memberikan ucapan selamat atas pernikahan dirinya itu.
Ia tersenyum saat tahu teman-temannya turut bahagia atas kebahagiaan dirinya saat ini. Ia juga senang dimana semua teman-temannya memberikan doa yang terbaik untuk hubungan ia dengan Berlin.
Setelah 15 menit berlalu, Berlin keluar dari toilet dengan baju piyama miliknya dan handuk yang sudah ada diatas kepalanya.
Bara memperhatikan setiap inci detik dari Berlin keluar kamar mandi hingga ia duduk di depan meja rias.
Bara tersenyum melihat istrinya itu. Cantik.
"Ngapain lo senyum-senyum?" Tanya Berlin.
"Yah ketauan kan kalo aku senyum-senyum sendiri," kata Bara sambil berdiri dan berjalan menuju Berlin.
Berlin melihat semua itu dari cermin meja riasnya. Entah mengapa, ia menjadi sangat gugup.
Bara mengelus kepala Berlin dan menatapnya melalu cermin. "Kamu cantik," kata Bara lalu beranjak pergi ke toilet.
Berlin hanya mematung, pipinya sudah merah merona. Hatinya benar-benar berdesir saat mendengar pujian dari Bara itu.
Berlin memegangi kedua pipinya dengan tangannya. "Ya ampun, ini kenapa pipi gue?" Tanyanya sambil membulatkan matanya tak percaya.
Tidak mau terlalu memikirkan itu, Berlin memutuskan untuk mengambil ponselnya sebagai harapan agar ia segera melupakan kejadian tadi.
Ia melihat begitu banyak pesan masuk ke ponselnya. Namun ia berhenti ketika melihat 1 pesan dari sekian pesan yang masuk ke ponselnya.
Ia tebelalak saat membaca isi pesan itu. Matanya membulat tak percaya.
Tasya,
Bilangin sama Bara nanti, jangan kasar-kasar. Oh iya, dan gue berharap banget segera dapet kabar bahagia, kalau sahabat gue yang satu ini segera punya baby.
I can't wait for that. Ganbatee!
Berlin hanya menepuk pelan dahinya.
"Pokoknya gue belom siap, awas aja kalo si Bara itu nyentuh-nyentuh gue, bakal gue patahin, liat aja!" Batin Berlin.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Wife
Espiritual[Spiritual - Romance] Mungkin memang kisah kita hanya berawal dari sebuah perjodohan, dimana sebuah perjodohan itu tidak terdapat celah sedikit pun untuk dapat dibatalkan. Setiap tingkah laku konyolmu seakan air yang dapat menumbuhkan setiap inci d...