Rin mengerjapkan matanya ketika merasakan tangannya digenggam oleh seseorang. Rin membuka matanya, melihat Len yang tengah menatap kearahnya.
Angin berhembus menerpa rumput-rumput yang berada di taman istana, tempat Rin dan Len berada saat ini.
"Len kau mengagetkanku! Aku kira siapa orang lancang yang berani menyentuh tanganku," ucap Rin.
"Maaf-maaf, aku tidak berniat membuatmu terkejut." Len terkekeh, "Bukankah angin di sini sejuk?" Len memejamkan matanya dan merasakan angin lembut yang menerpa wajahnya.
"Um!" Balas Rin menyetujui apa yang di ucapkan oleh Len dan ikut menutup matanya, menikmati angin yang berhembus lembut.
"Ne, Rin. Aku punya brioche untuk makan siang nanti lho," ucap Len.
"Brioche?! Benarkah?!' Rin dengan segera membuka matanya menatap Len dengan raut wajah gembira.
"Tentu saja." Len terkekeh melihat kelakuan Rin, "kau adik termanis yang kupunya, mana mungkin aku berbohong." Len tersenyum dan menggelus kepala Rin pelan.
Rin yang mendapat pujian itu pun menutupi mukanya dengan kedua tangan mungilnya, berusaha agar Len tak melihat wajah memerahnya.
****
Rin duduk di sana. Di balkon kamarnya bersama Len yang berada di sampingnya.
Di hadapannya telah tersedia makanan untuk makan siangnya beserta perlengkapan makannya.
"Brioche yang kujanjikan, siap yang mulia," ucap Len seraya menuangkan pelan teh hangat ke cangkir yang akan digunakan Rin.
"Terima kasih Len," ucap Rin. Len pun tersenyum, ia tahu ucapan terima kasih Rin bukan untuk brioche, tapi terima kasih karena telah berada di samping Rin, selalu.
Rin mengambil pisau dan garpunya, memotong briochenya dan memakannya, tanpa beban. Seakan tak pernah terjadi apa pun.
Seakan kejadian tadi malam, di mana Rin memusnahkan negeri hijau hanya dengan sebatang korek api itu tak pernah terjadi.
Melupakan tewasnya banyak orang tidak bersalah yang tidak mengetahui apa pun. Melupakan negeri hijau yang saat ini telah menjadi abu.
Tersenyum dengan muka polos tidak bersalah, tersenyum tanpa beban, bagaikan bayi suci yang tidak pernah tahu apa itu kematian, itu yang dilakukan Rin saat ini.
Dan yang bisa Len lakukan, hanyalah tersenyum memandangi Rin, mengikuti alur yang mengalir, membawanya ke arah takdir yang hanya diketahui oleh Tuhan.
Rin memakan briochenya dengan tenang, melupakan bahwa brioche itu dibeli di negeri hijau, dibeli di toko gadis hijau yang Rin sangat ingin memusnahkannya, dibeli di alun-alun kota, sebelum negeri hijau benar-benar hancur.
Miris, memang.
Tapi apa yang bisa dilakukan Len? Dirinya telah berjanji untuk menuruti seluruh permintaan Rin, berdiri di sisi Rin, menopang Rin disaat Rin terjatuh, hingga akhir. Itu sumpahnya, sumpah yang di buatnya saat kecil.
"Len, tuangkan aku teh lagi," ucap Rin, membuyarkan lamunan Len.
"Ah baiklah." Len menuangkan perlahan kembali teh ke cangkir Rin.
"Ngomong-ngomong, jika kau terus menerus makan makanan manis, kau bisa gemuk lho. Nanti pangeran Kaito tidak jadi menyukaimu," ucap Len bercanda.
"Heee?! Benarkah?!" Ucap Rin dengan suara keras.
"Bercanda kok," ucap Len terkekeh pelan. Rin yang mendengar hal itu pun lantas menggembungkan pipinya.
"Ne, Len! Dengan begini, pangeran Kaito akan mulai melirikku 'kan, saat gadis hijau itu pergi?" Tanya Rin senang.
"I-iya, mungkin saja..." ucap Len dengan nada ragu. Namun nampaknya Rin tak menyadari hal itu, terbukti Rin melanjutkan memakan Briochenya dengan tenang dan dengan senyuman tak bersalah yang menghiasi wajah imutnya.
Tak jauh dari mereka, sangkar burung kepunyaan Rin yang berada tak jauh dari pintu, terdapat satu burung yang sudah tergeletak tak bernyawa di dasar sangkar.
Entah itu akan menjadi pertanda apa, yang pasti...
Bukan pertanda baik.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Evil
FanfictionDulu, aku pangeran dan kau putrinya. Sekarang, kau Ratunya dan aku pelayanmu. Dan aku ... bersedia mengorbankan apa pun demi sang ratu. Start = 8 November 2017 End = 19 Mei 2019 Copyright ©2017 by QuinnXena