Prolog

9.4K 308 6
                                    


Pagi ini hari tampak cerah, terlihat dari gambaran langit yang bersahabat berlukiskan hamparan putih kebiruan menambah semangat aktivitasku hari ini. Aku berdiam diri di balkon kamarku menghirup udara yang segar untuk melupakan sejenak beban yang kian hari membuatku frustasi. Ya, sebulan terakhir ini aku di libatkan dengan berbagai masalah yang membuat kepalaku rasanya ingin sekali meledak. Rasa sedih yang berlarut dalam raga di balut juga kekecewaanku terhadap seseorang yang aku sayangi kerap kali mengusik kalbu dan pikiranku.

Flashback on

Satu bulan yang lalu, hari dimana separuh jiwaku terasa ikut pergi bersama kakakku. Adsila Claretta Jasmeen, sosok kakak yang sangat berarti untukku. Hari itu sangatlah membuatku terpuruk, saat aku tiba dari Medan, ku lihat bendera kuning yang bergerak tertiup angin. Rumahku di penuhi banyak orang, dengan langkah ragu aku memasuki rumah. Betapa terkejutnya diriku saat melihat kakak yang sangat aku sayangi terbaring kaku dibalut kain kafan. Air mataku menetes tanpa permisi, kulihat orangtuaku menangisi kepergiannya. Aku hanya terdiam berdiri mematung melihat kejadian ini. Lidahku kelu tak mampu berkata sedikitpun. Rasanya aku tidak percaya dengan ini semua, perasaanku tak karuan mengingat kondisi kakakku yang semula sehat namun pada kenyataannya dia saat ini sudah tak bernyawa.

"Retta bangun nak, ini mami sayang. Jangan tinggalin mami. Kamu anak mami yang kuat." Mamiku terlihat sangat terpukul dengan kejadian ini.

Ya, mami sangat menyayangi Kak Retta bahkan rasa sayangnya melebihi apapun termasuk aku sendiri. Dia selalu menuruti keinginan kakakku, menyayanginya, dan juga menyebutnya dengan anak kesayangan. Miris jika aku mengingat perlakuan mami terhadap diriku. Jauh dari kata layaknya seorang ibu terhadap anaknya. Terkadang aku berpikir, apa aku ini anak angkat atau anak tiri mamiku. Karena dari umurku tujuh tahun sampai sekarang mami tak pernah merawatku. Aku tinggal bersama kakek dan nenekku, orangtua dari papiku di Medan. Aku tak tahu apa alasan mereka mengasingkanku ke Medan. Bahkan mami tak pernah mengunjungiku bersama papi. Kalau bukan aku yang datang ke rumah ini, mungkin aku tak akan pernah bisa memandang dan memeluknya. Sungguh, jika aku membayangkannya hatiku terasa sakit. Namun kusingkirkan egoku kali ini untuk menenangkan mamiku.

"Mih, kak Retta udah tenang di sana. Kita ikhlasin ya mih. Ini sudah menjadi takdir kak Rett-"

"Diam kamu, sampai kapan pun mami ga ikhlas atas kepergiannya. Kamu ga tahu apa-apa. Jadi lebih baik kamu pergi dari sini." Mamiku mengumpat diriku dengan nada tinggi. Kulihat tatapan matanya tersirat amarah terhadap diriku.

Aku hanya bisa menangis mendengar  perkataan mamiku yang menohok hati. Memang aku juga jarang bermain bersama kak Retta, hanya berkomunikasi lewat handphone saja, namun rutin videocall dengannya. Ia juga selalu ikut dengan papi mengunjungiku di Medan. Aku sudah terbiasa mendengar mamiku marah dengan nada yang seperti itu. Namun kali ini jauh lebih sakit karena dia berpikir aku tidak menyayangi kak Retta. Sungguh aku sangat menyayangi kak Retta walaupun aku sangat iri dengan mami yang memperlakukannya bak ratu dalam kayangan. Kali ini aku benar-benar hancur, aku jadi tahu betapa besar rasa sayang mami terhadap kakakku. Aku selalu berpikir apakah jika aku yang ada diposisi kak Retta saat ini, mami juga akan seperti ini. Nihil, mami tak akan bersikap demikian terhadapku. Tuhan, kuatkan hati ini menerima nasibku. Aku berdo'a semoga suatu hari nanti mami menyayangiku seperti dia menyayangi kak Retta.

"Mih, niat Qory kan baik. Dia cuma mau menenangkan kamu. Ga perlu marah apalagi bentak dia seperti itu." Kini papiku ikut andil dalam masalah ini.

Dia mengusap bahu mamiku sambil mengecup puncak kepalanya beberapa kali. Papi menatapku hangat lalu membawaku dalam dekapannya. Menenangkanku yang saat ini tengah menangis.

"Sayang kamu jangan dengerin kata mami ya. Mami sayang sama kamu. Dia cuma lagi sedih dan syok aja." Ujar papi dengan penuh pengertian terhadapku.

Aku sangat tenang berada dalam dekapan papi seperti ini. Aku bersyukur mempunyai papi yang sangat menyayangiku seperti dia menyayangi kak Retta.

"Mih, maafin Qory ya. Aku juga sayang sama kak Retta." Ucapku dengan penuh hati-hati, karena takut mami akan marah lagi padaku.

Tak ada jawaban darinya, mamiku terus memandang wajah kak Retta sembari menciumnya berkali-kali. Aku merasa sedih disaat seperti ini tak bisa menenangkan mami. Bahkan memeluknya pun aku tak kuasa, bukan karena aku tidak menyayangi mami. Ya kalian pasti tahu alasannya, alih-alih aku takut ia salah paham padaku.

Prosesi pemakaman selesai di lakukan. Satu persatu orang yang ada di rumahku pamit untuk pulang. Kini hanya ada aku, mami, dan papi di rumah. Kakek dan nenekku sedang di perjalanan menuju rumahku karena mereka baru di kabari oleh papi.

Flashback off

"Sayang, ini papi bawain kamu sarapan." Aku menoleh dan mendapati papi sedang tersenyum manis padaku. Aku mengangguk samar lalu kembali menatap langit yang cerah.

"Dimakan ya Qory."

Aku merasa bersalah dengan papi karena semenjak kepergian kak Retta aku sering menghabiskan waktu di kamar. Aku enggan keluar rumah, bahkan untuk makan pun papi rutin mengantarkan ke kamarku. Sejak itu mami juga sering menyendiri di kamar, sering menangis sambil memanggil nama kak Retta. Kondisi kejiwaannya tidak stabil, yang membuatku jauh lebih terpukul adalah mami tidak mau bicara padaku. Dia selalu berteriak di depan wajahku, akulah yang menyebabkan kak Retta meninggal. Saat itu kak Retta ingin mengunjungiku di Medan dan saat perjalanan menuju rumah kakek dan nenek dia mengendarai mobil taksi. Rem mobil taksinya hilang kendali sehingga menyebabkan kecelakaan. Rasa benci mami padaku semakin memuncak, aku ingin kembali ke Medan namun papi melarangku. Ia ingin aku pindah sekolah di Jakarta. Awalnya aku menolak, namun pada akhirnya aku menerimanya karena jujur, aku sangat ingin tinggal bersama orangtuaku.

Hayo, gimana prolognya? Baru awalnya, jangan berenti sampai situ aja, pemanasan "melow". Part selanjutnya bakal ketemu Alisha dan Lardo deh, unch. Semoga suka ya. Lucu, manis, baper, dll ada di story ini. Wkwkwk...

Salam hangat, Dania Novita Sari

Trust MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang