8 - Alisha Terpuruk

3.8K 164 1
                                    

Rasa bersalah itu seperti ucapan seseorang yang menohok hati hingga sakitnya akan lama memudar yang ada hanya perih jika ingatan akan hal itu kembali menyerang.

Alisha Pov

Entah ada gerangan apa tiba-tiba dadaku rasanya sesak. Aku merasa sedih tapi tak tahu apa sebabnya. Pikiranku berkelana entah kemana, yang pasti aku ingin sekali menangis saat ini juga.

"Hallo pacar." Lardo menggodaku.

"Eh, ralat ya Do. Pacar pura-pura." Aku kembali fokus membaca buku Geografi.

"Hallo, assalamualaikum. Iya bi kenapa?" Alisha mengangkat telpon dari rumahnya.

" ..... "

"Apa bi. Papi ada di rumah?" Aku refleks menjatuhkan buku yang tengahku genggam.

Bulir bening mengalir hangat membasahi wajahku seketika . Aku mengatup bibirku dengan telapak tanganku.

"Ya Allah mami. Maafin Qory mih." Hatiku rasanya tercabik mendengar kabar buruk dari pembantu rumahku.

"Lo kenapa Lish? Lo sakit, kok nangis." Tanya Lardo dengan raut wajah cemas.

Aku hanya menggelengkan kepala. "Gue mau pulang Do."

"Oke gue anterin lo ya."

Lardo mengambil buku geografi yang ku jatuhkan tadi. Dan menuntunku keluar kelas.

"Do Alisha kenapa? Lish lo kok nangis, sakit ya?" Dania menggenggam erat tanganku.

"Gue mau izin pulang Dan,
tolong bilangin Rina ya gue izin."

"Lo di anterin Lardo Lish?"
Aku mengangguk samar dan memeluk Dania untuk sejenak mencari kehangatan dari sahabatku.

Dania mengusap lembut punggungku. "Gue ga akan paksa lo buat cerita sekarang. Tapi lo harus percaya gue selalu ada saat lo ada masalah. Gue tahu kok Lish, lo itu orang yang kuat. Apapun masalah lo, gue do'ain semoga lo bisa lewatin semuanya. Gue dan yang lain selalu ada buat lo." Aku mengurai pelukan.

"Makasih ya Dan. Gue pulang dulu."

---

"Lo jangan nangis dong Lish!" Lardo menghapus lembut air mataku.

"Makasih Do lo mau nganterin gue." Aku memeluk Lardo.

Hal ini yang aku butuhkan sekarang, kehangatan dan kenyamanan yang mampu membuatku sedikit tenang. Entah kenapa rasanya nyaman  berada dalam dekapan Lardo, walaupun aku sering bertengkar dengannya tapi saat ini nyatanya dia yang ada di sampingku.

"Maafin gue Do, biarin gini dulu bentar ya. Gue butuh seseorang, gue ga bisa tanggung beban ini sendirian." Tangisku semakin pecah membasahi punggung Lardo.

Lardo mengusap lembut punggungku sesekali mencium puncak kepalaku. "Iya Lish, gue ga bisa ngelakuin apa-apa buat lo, gini aja udah bahagia gue. Kalau punya masalah jangan di simpen sendiri ntar hatiku lo meledak lo." Aku mengurai pelukan.

"Gue pengen banget Do cerita sama orang lain. Tapi rasanya sulit Do karena setiap kali gue mau terbuka tapi rasa bersalah itu selalu muncul." Aku menundukkan kepala.

Ya Allah Lish, gue ga tega lihat lo nangis kek gini. Padahal gue selalu liat lo yang kayaknya ga ada beban tapi ternyata lo itu rapuh Lish. Gue di sini buat lo.

"Yaudah Do kita ke rumah sekarang ya!"

---

Lardo mempersilahkanku turun dari mobil. Samar-samar aku mendengar suara teriakan dari dalam rumah. Kakiku melangkah dua kali lebih cepat di ikuti Lardo.

Trust MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang