Aku melangkahkan kakiku di koridor dengan gontai, tak peduli dengan tatapan Siswa-Siswi yang menatapku bingung, pasalnya hanya aku saja yang santai, sedangkan mereka sudah buru-buru berjalan ke ruangan masing-masing karena bel baru saja berbunyi.
Aku berjalan menuju kantin, seringaianku tercetak saat melihat seseorang yang sedang duduk di salah satu bangku dengan laptop di hadapannya dan beberapa snack. Berjalan ke arahnya pelan, aku berusaha membuat suara sepatuku tidak terdengar, saat aku sudah berdiri di belakang orang itu, aku menepuk bahunya kencang sambil berteriak, membuatnya refleks juga ikut berteriak.
Aku tertawa terbahak-bahak saat wajah orang di depanku memerah, dia menatapku kesal sebelum dia berdiri, tangannya meraih daun telingaku dan memutarnya cukup kencang, aku hanya bisa berteriak kesakitan sambil berusaha melepaskan jewerannya.
"Sak--AKH--Sakit Bang--AH-LEPAS!" ucapku teriak membuatnya melepaskan jewerannya, sekarang gantian dia yang menyeringai saat melihat telingaku yang memerah karena perlakuannya.
"SADIS!" ucapku dengan berteriak lagi, aku memandang ke arahnya kesal, lalu duduk di bangku di hadapannya.
"Kenapa nggak masuk ruangan? Hm?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Aku mendengus keras-keras, dia menoleh ke arahku sekilas sebelum kembali menatap laptopnya. "Suka-suka gue lah!" ketusku, aku berjalan ke salah satu stand minuman dan memilih membeli jus apel.
Aku menunggu cukup lama jus apel yang kubeli sambil duduk di depan meja bar, setelah pesananku selesai, aku segera membayarnya dan melangkah keluar dari kantin.
"Jean Isabella!" ucap orang tadi yang sebenarnya adalah Bang Rey dengan nada yang penuh penekanan.
Aku memutar kedua bola mataku malas, mau tak mau aku membalikkan badanku menghadap ke arahnya yang duduk cukup jauh dari tempatku dengan satu alis terangkat.
Dia melambaikan tangannya ke arahku, bermaksud menyuruhku menghampirinya, dengan langkah amat malas aku berjalan mendekat.
"Lo nggak jawab pertanyaan gue," ucap Bang Rey saat aku sudah duduk kembali di hadapannya.
Aku mendengus lagi. "Abis ini juga masuk! Udah ah bawel! Jean mau ke perpus dulu. Lagi lo juga ngapa ada di sini? Anak mana lo huh? Apa mau balik ke masa-masa middle school lagi? Apa mau ngegodain cewek-cewek yang ada di sekolah gue?" aku malah bertanya sinis.
"Katanya lo belakang ini jarang mau masuk ke kelas, kenapa lo bolos?" Bang Rey balik bertanya, dia lagi-lagi mengalihkan pembicaraan. "Abang tadi ke sini karena panggilan dari Mrs. Selly, kalo Abang nggak ke sini juga Abang nggak bakal tau kalo lo itu ternyata suka bolos." lanjutnya.
Aku mengatupkan bibirku rapat, sebelum membukanya dan mengeluarkan karbondioksida dari sana. Aku memberanikan diri menatap tepat di mata Bang Rey, agar dia tahu bahwa aku tidak berbohong.
"Jean males masuk kelas Bang, Jean lebih suka ngabisin waktu di perpus buat mempelajari p3." balasku.
Abang Rey menghela napas pasrah, mau bagaimana pun dia tidak bisa mengaturku apalagi jika aku sudah membicarakan p3. "Tapi sekolah tetep penting Jean, jangan terlalu mentingin p3 kalo kamu ujung-ujungnya malah melalaikan sekolah lo. Percuma lo ikut p3 kalo lo nggak bisa apa-apa karena lo jarang masuk kelas." Bang Rey mengusap rambutku penuh kasih sayang dan senyum lembut yang tercetak di bibirnya.
Aku mengangguk, balas tersenyum kemudian pindah duduk di sebelah Bang Rey dan memeluknya dari samping. Bang Rey membalas pelukanku, pelukan yang selalu menguatkanku dalam hal apapun, apalagi jika aku teringat dengan sosok Mama.
Setelah lama dengan posisi seperti itu, aku duduk tegap lagi. "Gue pengen ke perpus Bang,"
Abang Rey menghela napas pasrah. "Tapi awas kalo besok lo bolos lagi, gue bakal bilang sama penjaga perpus biar nggak ngebolehin lo masuk."
Mendengar kata-kata Bang Rey, aku hanya mencibir pelan. Tak urung kepalaku mengangguk dan mulai berjalan meninggalkan area kantin dan Bang Rey sendirian.
Saat aku akan berbelok ke koridor menuju perpustakaan, telingaku mendengar suara yang aku kenal, dan sudah lama tidak aku dengar lagi. Aku menghentikan langkahku, ingin mendengar apa yang dikatakan setelahnya, walaupun aku tahu menguping itu tidak baik, tapi aku sangat penasaran.
"Lo beneran tunangan sama dia Lex?" tanya seseorang yang kuyakini adalah Alissa.
"Iya." balas Alex tanpa nada.
Jantungku saat itu juga berpacu cepat, hatiku terasa mencelus dan sesak. Aku memegang dadaku yang terasa sakit tetapi tidak ada luka di luarnya, sedangkan mataku mengerjap ke atas berkali-kali, berusaha agar tidak ada cairan bening yang tumpah.
"Lo kok nggak ngundang-ngundang kita sih Lex?" timpal sebuah suara lagi yang kupikir adalah Neels.
"Awalnya cuman pertemuan keluarga biasa aja, tapi mama gue sama mama Bailee bawa kotak beludru yang isinya cincin, jadi yaudah sekalian aja tunangan."
Saat mendengar penjelasan Alex, aku seberusaha mungkin untuk tidak terisak. Aku menutup mulutku, agar tidak ada suara yang terdengar.
Aku segera menetralkan ekspresiku seperti sebelumnya, aku kembali menguping, tetapi tidak ada suara yang terdengar, hanya ada suara langkah kaki.
Mendengar suara itu aku kontan berlari menjauh dari tempat awal aku berdiri, kemudian berbalik lagi dan mengambil buku dari tas untuk mengalihkan perhatianku. Aku berjalan seperti sebelumnya saat akan ke perpustakaan.
Sekilas, aku melihat Alissa, Alex, dan Neels berjalan ke arahku, bukan, lebih tepatnya dia ingin berjalan menuju tempat yang dia tuju yang arahnya berlawanan denganku.
Aku bisa merasakan tatapan-tatapan dari mereka bertiga, tetapi aku tetap menunduk pura-pura membaca buku dan pura-pura juga tidak menyadari kehadiran mereka.
Setelah jarak kami cukup jauh, aku menengok ke belakang untuk melihat punggung mereka. Kakiku dengan cepat berlari kecil menuju perpustakaan.
Mungkin menangis di perpustakaan bukanlah hal yang buruk.
--
23 Juli 2017.
