Aku berjalan menyusuri koridor yang tampak lenggang, sepertinya bel masuk baru saja berbunyi. Aku berjalan dengan langkai gontai karena aku tidak berniat untuk mengikuti pelajaran Matematika di ruang Mrs. Friya.
Aku terus berjalan tanpa arah sampai ada sebuah tangan yang memegang bahuku lembut. Aku menengok ke belakang, di sana ada seorang laki-laki bermata biru sedang tersenyum ke arahku.
Oh, God.
"Ya?" tanyaku sambil membenarkan beberapa anak rambut yang jatuh ke wajah.
"Lo.." dia tampak berpikir. "Yang tadi sama Alissa ke ruang sejarah kan?" tanyanya pada akhirnya.
Aku mengangguk pelan, enggan melihat mata biru itu. "Ada apa?"
"Ini," dia mengeluarkan suatu kertas dari selipan bukunya. "Gue tadi liat ini keselip di buku gue, kayaknya punya lo ya," dia berhenti berbicara, kulihat matanya membaca tulisan yang ada di kertas itu. "Jean Isabella." dia mengucapkan namaku dengan nada bicara khasnya.
"Apa?" sahutku.
Mendengar suaraku, dia langsung menatapku. "Bener kan nama lo Jean Isabella." senyum mengambang di wajah--em, tampannya. "Nih punya lo." dia menyodorkan kertas yang dipegangnya tadi kepadaku.
Aku menerimanya, saat mengecek kertas itu, aku menepuk pelan keningku. "Ya ampun, pantes gue cari kemana-mana nggak ada." gerutuku.
Kulihat dia tertawa pelan. "Kayaknya penting banget ya?"
Aku menatapnya, tepat di mata birunya. "Penting lah, ini tuh bahan buat pembuatan makalah." aku melipat kertas itu kebentuk semula. "Makasih ya," ucapku sebelum beranjak pergi.
Tapi tangannya menahanku.
Tangan kita bersentuhan.
"Ya?" tanyaku agak gugup, sebisa mungkin aku berusaha menetralkan detak jantungku.
"Lo nggak kenal gue ya?" dia tersenyum miring.
Aku menggeleng sebagai jawaban membuat dia berdecak.
"Hidup di jaman apa lo nggak kenal gue."
"Kenapa gue harus kenal lo? Emangnya lo orang-orang bersejarah apa?" balasku dengan nada sinis.
Dia tertawa, lalu tangannya mengacak rambutku pelan. "Lo lucu," ucapnya pelan, bahkan aku tidak yakin dia mengucapkan itu barusan. "Nama gue Alex kalo lo mau tau, kalo nggak yaudah, takutnya lo butuh gue lagi gitu." lanjutnya kemudian pergi dari hadapanku begitu saja.
Sikapnya benar-benar tidak bisa ditebak.
--
"Hari ini lo mau ke rumah sakit kan?" tanyaku saat Rachel keluar dari ruang Matematika.
Rachel mengangguk, begitu lesu.
"Gue anter ya," tawarku yang dijawab dengan gelengan oleh Rachel.
"Kenapa nggak mau?" tanyaku.
Rachel berhenti berjalan, dia menatapku dengan mata hitamnya. "Gue harus beli bunga dulu, dan rumah sakit sama ke rumah lo kan nggak searah, jadi nggak usah, gue nggak mau ngerepotin." tolak Rachel lagi.
Aku menghembuskan napas, mengangguk. "Hati-hati ya di jalan, semoga Calum cepet sembuh. gue duluan." pamitku, Rachel hanya mengangguk.
Aku berjalan terlebih dahulu meninggalkannya.
"Eh, Jean." sapa cowok bermata biru itu--Alex, aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Pulang sama siapa?" tanyanya dengan alis terangkat.
Aku menggaruk keningku yang sebenarnya tidak gatal, lalu melirik ke arah luar gerbang. "Sama Abang." balasku.
"Lo punya Abang?" tanya Alex, aku mengangguk.
"Oh itu dia, gue duluan." ujarku lalu meninggalkan Alex sendirian. Aku pergi ke arah mobil Bang Rey dan masuk ke dalamnya.
"Siapa?" tanya Bang Rey langsung pada saat aku menutup pintu mobil.
"Siapa? Yang mana?" aku mengerutkan kening, tidak mengerti dengan perkataan Bang Rey.
"Ah elo," Bang Rey menjitak kepalaku pelan. "Sok polos."
Aku masih tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Bang Rey. "Maksudnya apa sih Bang?"
Bang Rey menggeleng pelan. "Cowok itu. Siapa?"
Aku membulatkan mulutku saat mengerti apa yang dimaksud Bang Rey. "Bukan siapa-siapa." balasku jujur.
"Gue yakin bentar lagi pasti lo bakal nangis karena dia." ujar Bang Rey lalu menjalankan mobilnya.
Aku hanya diam tak menjawab, sibuk dengan pikiranku.
Maksud Bang Rey itu apa sih?
--
21 Juni, 2017.