Aku duduk di balkon kamar dengan angin malam yang menemani, aku menghembuskan napas pelan. Otakku memutar kejadian-kejadian sebelum aku jatuh sakit seperti ini. Kepalaku mendongak, melihat langit malam yang berwarna biru tua gelap disertai taburan bintang-bintang.
Aku mengambil ponselku, dan mengetikkan sesuatu di sana.
Beberapa menit kemudian ada balasan yang kutunggu-tunggu, disertai suara deru mobil yang keluar dari pekarangan rumahku.
Dari sini kudapat melihat Bang Rey melajukan mobil maju sebelum berbelok dan menghilang dari pandangan, ponselku tiba-tiba berdering, menandakan ada panggilan masuk.
Aku segera men-slide tombol hijau tanpa melihat si penelpon. Sekarang kubisa mendengar suara hembusan napas di sana.
"Ini Jean?"tanyanya.
Aku mengangguk, dan menepuk pelan keningku. Buat apa aku mengangguk kalau si penelpon tidak bisa melihatnya?
"Iya." jawabku pada akhirnya.
"Gue udah tau kalo lo tau tentang.." si penelpon itu tampak ragu ingin melanjutkan.
"Apa?" tanyaku tidak bisa menahan rasa penasaran.
"Alex yang udah tunangan."
Aku menghembuskan napas pelan agar tidak terdengar. Pasti ini salah satu anggota Squad Ten yang mungkin melihatku saat mendengar pembicaraan Alissa, Alex, dan Neels. Orangnya pasti antara AJ dan Jake. Atau mungkin malah Neels?
Aku menggelengkan kepala pelan saat teringat bahwa sekarang ada seseorang di sebrang sana yang menunggu jawaban.
"Iya, kenapa?" tanyaku tanpa nada.
"Lo udah putusin sekarang mau kayak gimana? Lo mau milih tetep berjuang atau lepasin dia? Karena setelah Alex lulus, dia bakal keluar kota buat lanjutin pendidikannya dan balik lagi ke sini untuk nikahin tunangannya itu."
Mendengar penjelasan itu, aku menahan diri agar tidak menangis. Selain karena air mataku yang sudah mulai mengering, itu juga karena aku tidak mau keadaanku semakin drop dan membuat orang-orang di sekitarku cemas.
"Gue lagi mutusin, dan gue butuh waktu." ucapku pelan dan segera mematikan sambungan.
Saat sambungan telepon sudah terputus, aku melihat notifikasi chat dari Bang Rey.
Bang Rey: Jean, gue tadi dapet telpon dari salah satu pengurus p3. Lo berangkat ke Indonesia lusa.
Aku membulatkan mataku tak percaya saat membaca pesan itu. Lusa? Yang benar saja? Aku bahkan belum packing atau mengurus surat-surat dan segala macamnya. Bagaimana bisa dadakan seperti ini?
Jean: Kok dadakan sih? Kan gue blm nyiapin apa2
Bang Rey: Hrsnya diksh tau tadi, cmn lo nggak msk, udah santai aja lah, ntar gue bantu
Bang Rey: Btw ini lo mau pake tomat apa nggak sandwich-nya?
Jean: Yep, minumannya hot chocolate jgn lupa yaa!
Bang Rey: Iya2 adikku tercinta
Jean: ❤
Aku keluar dari roomchat dengan Bang Rey saat melihat ada notifikasi pesan dari Rachel, dan segera membalasnya.
Rachel: Gmn keadaan lo?
Jean: Baikan, malem ini mau nginep di rmh gue? Lusa gue udah nggak di sini
Rachel: Loh? Emg lo mau ke mana?
Jean: Ke hatimu aja deh
Rachel: Yg bnr somplak
Jean: Hatiku tersakiti diblg somplak sama km :(
Rachel: Yee.. lu sakit makin gak waras aja ya. Untung sakit, kalo gak badan lo udah gue tendang pake mobil excavator
Jean: Uuu ampun mak, gue takut
Rachel: Ke mana setan?
Jean: Indonesia, dugong
Rachel: P3 ya?
Jean: Yep
Jean: Kuy ah nginep malem ini, gue jg mau curhat
Rachel: Gue nggak ada yg nganter
Jean: Siapin brg lo, tunggu di dpn rmh, oke?
Rachel: Emg ada yg mau jemput?
Jean: Nggak, nunggu aja lu di sana sampe lumutan HAHAHAHAH
Rachel: Shit
Aku hanya tertawa membayangkan kalau Rachel benar-benar menunggu di depan rumahnya seperti orang hilang dan tidak tahu menunggu apa. Tapi aku tidak sejahat itu, jadi aku kembali membuka roomchatku dengan Bang Rey dan mengiriminya pesan.
Jean: Jemput Rachel dong, di rumahnya, dia mau nginep
Bang Rey: Yeh, lo, lagi sakit ada aja maunya
Jean: Pls :( Gue kan nggak bakal punya banyak waktu lagi buat dia
Bang Rey: Iya, iya, kirimin alamatnya.
Setelah mengirim alamat rumah Rachel kepada Bang Rey. Aku menutup semua aplikasi dan mengunci kembali ponselku. Aku bangkit dan masuk ke dalam kamar, bisa gawat kalau Bang Rey pulang kemudian tahu aku di balkon.
Aku terbaring di atas kasur. Memikirkan ucapan orang yang menelponku sebelumnya. Berjuang apa ngelepasin ya? Kalo berjuang kayaknya udah nggak ada harapan, ngelepasin? Nggak semudah itu. Ahhh! Gue bingung. Aku mengacak rambutku pusing.
Aku memilih duduk, di otakku masih ada pemikiran tentang berjuang atau melepaskan. Berjuang? Nanti kalo gue berjuang gimana berjuangnya? Kan gue mau ke Indonesia, otomatis jarang bisa ketemu dia, kalo ngechat juga belum tentu dianya ngebales, kan dia udah tunangan, siapa tau dia nggak dibolehin sama tunangannya buat jawab chat dari cewek lain. Ngelepas? Gue kan orangnya termasuk susah buat move on. Tapi gue juga udah nggak tahan sama sikap dia yang kayak gitu, gue ngelepas aja kali ya? Siapa tau di Indonesia lama bisa bikin gue cepet move on. Ah ya, gue ngelepas aja kali ya?
Aku sedang bergulat sendiri dengan pemikiranku, tiba-tiba aku merasakan ada tepukan di bahuku, aku menengok, melihat gadis cantik yang sedang tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya.
Dia menyerahkan sepiring sandwich dan hot chocolate untukku, aku menerima dan segera melahapnya.
Rachel tertawa. "Laper banget ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Nggak tau nih, semenjak sakit perut gue gampang banget laper, padahal biasanya nggak gini. Lo mau?" jawab dan tawarku.
Dia menggeleng. "Gue udah makan." balasnya.
Aku hanya mengangguk, kemudian memilih menghabiskan makananku, selama itu juga hanya ada keheningan di antara kita. Rachel hanya memainkan ponselnya karena dia tahu, bahwa aku tidak boleh berbicara saat makan. Jadi mungkin itu caranya menghilangkan rasa bosan.
"Kenyangg!" ucapku sambil menyesap coklat yang sudah mendingin.
Rachel langsung menatap ke arahku dan menaruh ponselnya di dekatnya. "Lo tadi bilang mau curhat? Curhat apa? Btw lo kok ke Indo cepet banget? Kan nanti gue kangennn."
Aku menelan coklat yang kuminum lalu menjawab pertanyaannya. "Iya nih gue mau curhat, dan.. gue nggak tau kenapa mereka juga baru ngabarin gue sekarang, seenggaknya seminggu sebelumnya kek, tapi yaudah, mau gimana lagi, pasti gue juga bakal kangen sama elooo!" aku menghambur ke dalam pelukan Rachel.
Kami berpelukan cukup lama, sampai aku melepasnya dan perlahan-lahan semua yang mengganjal di otakku kuceritakan kepadanya. Berkali-kali dia menyela memberi saran, sampai keputusanku sudah bulat.
Aku meraih ponselku dan menelpon seseorang, saat telpon dariku diterima aku langsung berucap. "Jadi.. gue putusin untuk ngelepasin dia."
--
29 Juli 2017.
