[2] Keributan di Kos

35.8K 2.6K 50
                                    

"Bukti cinta terbaik adalah dengan menjaga."
-Arif Rahman Lubis-

🌷🌷🌷

HAIDAR memutuskan untuk menunda jadwal wisudanya. Dua bulan lagi adalah jadwal wisuda kedua di tahun ini. Namun ia sudah membulatkan tekad untuk menundanya. Meskipun hal itu tentu membuat beberapa orang melayangkan protes terhadap dirinya. Lebih-lebih kedua orangtuanya.

"Kenapa harus ditunda, Dar?" tanya Ibu saat Haidar memberitahukan keputusannya. Meski Haidar tidak tahu bagaimana ekspresi ibunya saat itu. Namun dari nadanya di telepon, ia sudah menebak bahwa Ibu kecewa.

Haidar berusaha menjelaskannya dengan tenang. Ia tak mau ibunya sedih hanya karena masalah sepele.

"Nggak apa-apa, Bu. Ada hal yang Haidar perlu kerjakan sebelum wisuda. Lagi pula, skripsi Haidar belum selesai. Tinggal bab akhir. Insya Allah ini keputusan yang baik, Bu. Mohon didoakan."

Penjelasannya begitu sopan, membuat Ibu terpaksa mengerti. Ia tahu, sejak dulu anak bungsunya itu selalu berusaha melakukan yang terbaik. Ia mempercayai bahwa Haidar tidak mungkin akan mengecewakan orangtua.

"Yawis, terserah kamu, Le. Ibu hanya bisa mendoakan semoga apa yang kamu cita-citakan bisa terlaksana. Dipermudah oleh Gusti Allah."

"Matur suwun, Bu."

Telepon itu ia tutup dengan doa pengharapan di hatinya, semoga Ibu dan Bapaknya tidak kecewa, bahwa salah satu alasan kenapa ia menunda jadwal wisudanya sebab ia belum bisa memenuhi visinya, yaitu menikah.

Konyol. Alasan itu memang terkesan mengada-ada dan dibuat-buat, namun tekad Haidar bulat. Ia memang memiliki kemauan keras. Jika hatinya sudah yakin pada sesuatu, akan sulit untuk merubahnya. Sepertinya memang begitu wataknya.

Masalah skripsi yang tinggal bab terakhir sebenarnya bisa dengan mudah ia selesaikan. Pembimbingnya juga bilang begitu. Namun lagi-lagi keputusan Haidar sudah final.

Dulu ketika masih SMA, ia juga pernah mengutarakan keinginan menikah kepada kedua orangtuanya. Namun hal itu ditolak mentah-mentah oleh orangtuanya. Mereka bilang, Haidar masih muda. Ia sama sekali belum pantas untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Padahal Haidar telah meyakinkan kedua orangtuanya bahwa Haidar adalah laki-laki yang bisa diandalkan. Ia laki-laki yang bertanggung jawab dan tidak mudah menyerah.

"Le, menikah itu bukan hanya perkara kamu mampu bertanggung jawab atau tidak terhadap keluargamu. Tapi kamu juga harus memahami bahwa tanggung jawab yang sebenarnya adalah kepada Allah. Mau dibawa ke mana pernikahanmu kalau kamu saja tidak mengerti visi pernikahan dalam Islam?"

Perkataan bapaknya itu membuat ia tersentak. Sesungguhnya Bapak mungkin bisa percaya bahwa Haidar adalah orang yang dapat dipercaya, sudah mampu bertanggung jawab dan mampu diandalkan meski usianya saat itu masih muda. Namun Haidar juga kini telah paham, bagaimana ia bisa meyakinkan orang lain agar mau menerima ia menjadi suami atau menantunya kalau dia meyakinkan keluarganya saja belum mampu.

Renungan besar! Setidaknya begitulah cara berpikir Haidar mulai hari itu. Hingga dalam hatinya bertekad, bahwa sejak saat itu ia harus merencanakan segalanya dengan matang. Termasuk pernikahannya. Meskipun nasehat Bang Rois juga turut serta dalam perenungannya.

"Dar, lebih baik ente jangan kebanyakan mikir pernikahan kalau ente bener-bener belum siap. Pikirkan sesuatu yang besar. Misalnya, dengan apa ente akan bertanggung jawab atas segala hal yang ente lakukan di dunia? kalau ente sudah ketemu alasannya, monggo, jadikan menikah salah satu jembatan meraih surganya Allah."

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang