[10] Kekacauan di Kamar Sarah

19.3K 1.5K 16
                                    

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."
(Al-Baqarah: 216)

🌷🌷🌷

SEJAK tadi Haidar sibuk mengepak pesanan kaos para pelanggannya. Setelah mengecek bahwa alamat si pemesan benar, ia mencatatnya di buku kecil berwarna merah. Buku itu berisi seluruh pesanan yang telah ditangani oleh Haidar. Meski hanya reseller, Haidar selalu teliti dalam mengecek pesanan pelanggan. Baginya, layanan terbaik adalah jasa terbaik yang dapat ia berikan. Bagaimanapun, kepercayaan pelanggan terhadap dirinya akan menambah rezeki tersendiri.

Pintu diketuk, suara salam menggema di balik pintu. Haidar mengangkat kepalanya. Kegiatannya mengecek barang pesanan terhenti.

"Wa'aaikumsalam warahmatullah, siapa? Masuk aja," katanya.

"Aku, Mas," tukas Gio dengan senyumnya. Ia kemudian membuka pintu lebar-lebar. Membuat matahari siang itu masuk seluruhnya. Ia memerhatikan keadaan kamar Haidar sekilas. Rapi dan wangi. Meski banyak barang dagangan serta buku-buku bacaan yang sebenarnya kurang penting, Gio merasa bahwa kamar Haidar adalah kamar terbaik--setidaknya paling rapi di antara kamar lainnya di Ustman bin Affan.

"Kenapa, Yo? Kayaknya ada perlu?" tanya Haidar menginterupsi kegiatan Gio yang sedang asik mengagumi kamar Abinya itu.

"Ah, begini, Mas. Tadi aku dapet kabar dari Ibunya Sarah. Katanya, Pak Haryo sudah siuman. Sarah juga sudah baikan. Katanya dia sudah bisa bangun dari tempat tidurnya. Bahkan beberapa kali sempat menengok Ayahnya yang memang masih tergeletak lemah di kamarnya."

"Masya Allah, Alhamdulillah, Yo. Itu berarti doamu terkabul."

Gio terkekeh, "Ah, doanya Mas Haidar  juga, tho."

"Doanya semua." Haidar menengahi. Gio tersenyum, ia mengangguk. Tiba-tiba ekspresi wajahnya yang tadi penuh senyuman kini hilang. Perubahan itu ditangkap oleh mata Haidar yang sedang sibuk memasukkan barang pesanan ke kantung plastik besar berwarna merah.

"Ada sesuatu yang antum pendam, Yo?" tanyanya. Gio langsung menggeleng.

"Yo, aku itu bisa antum anggap Abang, bahkan sebagai orang yang diamanahi untuk membina santri Ustman bin Affan, aku ini Ayah bagi para santri, yang artinya seluruh masalah santri adalah masalahku juga. Kalau memang aku bisa bantu, insya Allah kubantu. Jangan sungkan." Haidar tersenyum. Ia memang sosok yang paling disegani di kos. Di samping memang ia adalah seorang Abi, pribadinya yang rendah hati dan suka membantu juga menjadi pondasi yang baik untuk semua orang menaruh simpati padanya. Ia adalah pemuda baik yang pekerja keras. Bisa dibilang, semua bisnis yang sedang digeluti oleh santri Ustman bin Affan adalah idenya.

"Sepertinya keluarga Pak Haryo sedang kesulitan membayar biaya rumah sakit, Mas," katanya. Ia menghela napas, wajahnya tampak lesu. Haidar kemudian menepuk pundaknya, menguatkan.

"Kalau hanya Sarah saja mungkin tidak masalah. Ah, sebenarnya mereka memang orang yang bisa dibilang berada. Dua kamar dan pengobatan rumah sakit mahal tidak akan membuat mereka miskin. Tapi ada masalah yang menjadikan mereka kesulitan membayar biaya rumah sakit...."

Haidar mengernyitkan keningnya, ia penasaran. "Memangnya, ada masalah apa, Yo?"

Gio menghela napas, wajahnya yang biasanya riang tampak menanggung banyak masalah, terlihat kusut dan redup. "Ayah Bima, mantan Pacar Sarah itu adalah duta negara Indonesia untuk Australia, Mas. Ibunya juga pejabat negara. Bisa dibilang, registrasi rumah sakit yang sebenarnya mudah diurus itu disetting sedemikian rupa oleh Bima, sehingga jadi rumit. Entah bagaimana." Perkataan Gio menggantung, membuat Haidar tambah penasaran.

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang