[23] Bubur Hangat yang Telah Dingin

14.9K 1.4K 53
                                    

KELOPAK matanya menghitam dan matanya sayu. Menandakan bahwa ia tidak bisa tidur beberapa hari ini. Mulutnya terus berdzikir. Namun hatinya tetap gelisah dan merasakan sedih yang teramat dalam. Hatinya sakit untuk kali kesekian. Ia tak tahu, mengapa jalan-jalan yang dilaluinya semakin terjal. Rasanya ingin menyerah. Namun ia tak akan membiarkan kata itu menelusup di kehidupannya. Sesulit apapun.

"Astaghfirullahal 'adziim, Astaghfirullahal 'adzim. Allah... Allah."

Satu butir air mata Shareef lolos ke pipinya. Ia menyentuh pipinya, ingin menyeka air mata yang mengalir. Ia teringat perbuatannya yang tidak manusiawi kepada seseorang yang sudah ia cintai sepenuh hati.

Sebaik-baiknya laki-laki adalah ia yang berbuat baik pada istrinya.

Seharusnya sabda Rasulullah itu adalah alarm untuknya agar senantiasa memuliakan istrinya. Namun kini, ia bahkan hampir membuat nyawa istrinya melayang.

"ISTIGHFAR, LEANA! Kamu sudah melakukan hal yang diharamkan oleh Allah!"

"Aku hanya ingin engkau bahagia, Shareef!"

Mata Shareef memerah. "Demi Allah! Aku tidak akan bahagia karena mendapatkan sesuatu yang membuatku masuk neraka!" Shareef hampir-hampir ingin melayangkan tangannya ke pipi Leana. Namun hati nuraninya tidak tega. Ia ingat bahwa perasaan sayangnya terhadap perempuan yang ia nikahi itu sudah terlalu dalam.

Ia kecewa atas keputusan Leana yang tidak berlandaskan pikiran yang jernih. Ia bisa saja mengerti maksud istrinya itu. Tapi kewarasannya tidak mendukung. Apalagi hal itu adalah hal yang Allah haramkan.

Shareef menghempaskan tubuhnya ke sofa. Wajahnya yang pias amat jelas menunjukkan kekecewaan yang mendalam.

"Demi Allah Leana, aku tidak ridha istriku melakukan suatu dosa," katanya.

"Kamu tidak hanya melanggar syariat, tapi kamu juga telah tidak menghormati aku sebagai suamimu."

Tubuh Leana yang masih dalam kondisi lemah bergetar hebat. Ia menangis. Ada rasa menyesal, kecewa, dan juga rasa malu yang teramat sangat.

"Sungguh, sejak kali pertama aku menyentuhmu sebagai istriku, aku sudah mewakafkan perasaanku kepadamu. Bagaimana mungkin kamu menganggap bahwa aku tidak bisa melupakan masa laluku?"

Leana tidak bisa berkata-kata. Dengan sisa tenaganya akibat kemo beberapa jam lalu, ia menyeka air matanya yang menderas.

"Demi Allah, jika ada perempuan yang ingin aku cintai hingga maut menjemputku, itu hanyalah kamu," tukas Shareef. "Lantas, bagaimana mungkin, perempuan yang kepadanya aku berharap sebagai pelengkap agamaku justru menusukku dari belakang?"

Leana semakin tak kuasa menahan sedihnya. Ia menatap suaminya yang duduk dengan ekspresi frustasi. Ia sungguh menyesal.

"Maaf... aku minta maaf, Mas."

Shareef diam. Sejak mengetahui fakta bahwa Leana diam-diam mengajukan lamaran pada Sabiya dan berniat mensabotase pernikahan gadis itu. Ia sudah sangat marah. Apalagi saat mengetahui bahwa perempuan yang jadi istrinya itu telah merencanakan hal ini sejak lama. Sejak ia didiagnosa tidak akan memiliki anak oleh dokter, karena rahimnya akan diangkat dan diprediksi bahwa tidak akan hidup lama karena kankernya telah menjalar ke organnya yang lain, Leana terus-terus berperilaku aneh. Perempuan itu sampai merencanakan berbagai macam cara. Sampai bersikeras meminta pengobatan di Bogor. Padahal di Brunei atau di Eropa pengobatannya lebih menjanjikan.

Shareef tidak habis pikir. Ia kecewa berat.

"Sungguh, aku tidak bermaksud melanggar perintah Allah. Apalagi suami yang aku cintai. Demi Allah, aku tidak akan tenang jika suamiku murka. Maafkan aku, Mas."

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang