[26] Melepas Memoar

18.6K 1.5K 55
                                    

"ASSALAMU'ALAIKUM, Bi. Ini Lisa. Boleh masuk?" Lisa berteriak lembut. Mengetuk-ketuk Pintu kamar Sabiya beberapa kali. Saat merasa mendapat persetujuan, ia membuka pintu.

Ceklek.

Kepala Lisa menyembul di balik pintu. Gigi putihnya yang tersusun rapi terlihat saat ia tersenyum pada Sabiya yang sedang selonjoran di atas kasur berwarna biru. Perempuan Jerman itu sudah tinggal di rumah Sabiya lebih dari sepuluh hari. Sibuk ini itu untuk mengejar penelitiannya.

Sabiya tersenyum. Mengangguk. Lalu menepuk-nepuk dengan pelan tempat kosong di sampingnya. "Wa'alaikumussalam, Lisa. Sini," katanya.

"Wah... wah, gadis shalihah ini ternyata lagi santai sambil baca... apa ini, Bi?" Lisa membalik sampul buku yang dibaca Sabiya secara sembarangan. Ia membaca judulnya. "WAAAH BUKU TENTANG MALAM PERTAMA!"

Sabiya langsung membekap mulut Lisa begitu ia berteriak membaca judul bukunya.

Lisa memang sudah lama bisa berbicara dan membaca tulisan dalam bahasa Indonesia. Tinggal satu apartemen lebih dari lima bulan, ditambah sering bolak-balik ke wisma Wirdah demi membujuk Sabiya untuk kembali tinggal di apartemen membuatnya terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Diakui Sabiya, otak Lisa itu cukup pintar untuk belajar dan meniru apapun di sekitarnya. Termasuk masalah bahasa. Walaupun tak begitu banyak kosa kata yang ia kuasai, Lisa cukup pintar untuk ditipu.

"Sudah siap jadi istri!"

Pipi Sabiya bersemu merah. Sejak awal menjalani ta'aruf, ia memang sudah memutuskan untuk serius mendalami ilmu tentang pernikahan. Ia ingat pesan dari Mbak Hulya, pun dari Nuriye, yang seminggu lalu mengajaknya ngobrol lewat Skype. Seperti biasa, perempuan Turki itu begitu gembira saat mendengar bahwa Sabiya memutuskan untuk menikah. Bukan dengan Shareef memang--laki-laki yang sering menjadi tokoh curhatannya Sabiya pada Nuriye. Namun Nuriye tetap meminta Sabiya bersyukur. Bahkan Nuriye panjang lebar memberi petuah tentang cinta dan bagaimana kehidupan setelah pernikahan.

"Perempuan itu berbeda dengan laki-laki, Bi. Perihal berbagai hal. Termasuk bagaimana ia jatuh cinta." Nuriye Berbicara dalam bahasa Inggris yang dicampur bahasa Arab. Sesekali malah menambah kosa kata bahasa Turki. Dan untungnya Sabiya bisa mengerti.

"Bisa jadi, awalnya perempuan mengatakan tidak mencintai laki-laki yang akan menikahinya. Tapi percayalah, saat seluruh tanggung jawab seorang ayah berpindah pada laki-laki asing yang menikahinya, cepat atau lambat, hatinya akan mencair. Otaknya akan merangkai berbagai kepingan cerita. Ia akan melihat bagaimana seorang laki-laki asing yang bekerja keras demi membahagiakannya. Berangkat kerja pagi hari, dan pulang sore hari dengan wajah kelelahan. Perempuan akan menyadari, bahwa laki-laki yang sesungguhnya mencintainya dengan tulus adalah laki-laki asing yang menjadi suaminya. Maka adalah bohong, ketika ia menyaksikan secara langsung seorang laki-laki asing yang memberikan segalanya untuknya, lantas ia tidak bisa mencintainya dan memilih mencintai masa lalunya. Itu bodoh, Bi.

"Perempuan muslimah itu surga nerakanya bergantung pada suami. Maka mulai saat ini belajarlah menata hati, mencintai itu tidak sulit. Ini hanya masalah kamu mau membuka hati atau tidak."

Sabiya mengangguk, tersenyum. Memang hatinya mudah rapuh, mudah bimbang. Ia seringkali lalai. Namun kini, berbekal istikharah beberapa kali dan pertimbangan matang lain, ia ingin belajar mencintai calon suaminya. Bagaimana pun caranya.

"Biyaaa. Tuh kan ngelamun!" Lisa mencubit pipi Sabiya. Perempuan itu sebal karena ocehan panjang lebarnya ternyata hanya angin lalu. Yang diajak bicara malah sibuk dengan pikirannya sendiri.

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang