[31] Siapa Dia?

13.5K 1.3K 36
                                    

MALAM di Bogor sebenarnya mengasyikan. Di balkon lantai dua rumah mereka, Sabiya dan Haidar sedang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Lebih tepatnya, Haidar lah yang sedang sibuk.

Di meja bulat yang mengarah ke pemandangan luar balkon itu alis Haidar beberapa kali terangkat. Keningnya berlipat-lipat tanda bahwa ia sedang sangat serius. Sementara Sabiya menunggui laki-laki itu sembari bertopang dagu. Memerhatikan setiap lekuk wajah Haidar yang menurut Sabiya makin menggemaskan saja. Ia tersenyum. Merasa aneh pada dirinya sendiri. Ia mengingat ketika kali pertama bertemu dengan Haidar. Laki-laki itu sangat lembut perangainya, meskipun lengannya lebam akibat bidikan busurnya yang asal-asalan. Ia sama sekali tidak menunjukan wajah kesal atau pun marah. Sampai saat ini pun, Sabiya heran. Bagaimana ekspresi Haidar saat marah. Apa sangat mengerikan?

Ia juga mengingat saat hatinya ragu-ragu ingin menulis sebuah surat permohonan maaf. Ia tidak tahu bagaimana meminta maaf kepada seorang laki-laki.

"Bu, kalau minta maaf lebih baik dengan cara bagaimana?"

Dulu, Sabiya memikirkan cara terbaik untuk meminta maaf. Tapi otaknya buntu. Ia tak punya pilihan lain kecuali bertanya pada Ibunya. Kalau bertanya pada Mas Yusuf, ia pasti dikatai habis-habisan.

"Masih soal Ustadz Haidar?"

Sabiya mengangguk. Wajah muramnya tak bisa ia sembunyikan. Ibu yang masih mengenakan mukena sehabis sholat dhuha menghampiri anak gadisnya dengan senyum.

"Ibu punya ide."

"Ide apa, bu?"

"Gimana kalau kamu ngasih hadiah?"

Kening Sabiya membentuk lipatan, "nyogok?"

"Hush," kata Ibu seperti melambaikan tangan. "Jangan pakai kata itu, Bi."

"Terus?"

"Bukan sogokan. Tapi sebagai hadiah permohonan maaf. Kata Rasulullah, saling memberi hadiah pada saudara itu akan menimbulkan perasaan senang. Jadi bukan nyogok untuk dimaafkan. Tapi hadiah itu anggap saja sebagai wasilah permohonan maafmu. Mengerti tidak?"

Sabiya nyaris tertawa melihat ekspresi ibu yang berusaha menjelaskan kepada Sabiya. Tapi ia mengangguk saja. Maka saat itu juga ia segera mencari sesuatu untuk diberikan pada Haidar. Awalnya ia berencana untuk memberi sesuatu berbentuk barang. Buku atau sesuatu yang mungkin bisa disimpan. Tapi niat itu urung. Karena ia tak mau seorang laki-laki yang tidak begitu ia kenal menyimpan sesuatu darinya. Baginya itu tabu. Maka ia memilih sesuatu yang bisa dimakan. Yaitu kue.

Niatnya, ia akan memberikan kue itu secara langsung. Mengucapkan apa saja yang menjadi penyesalannya atas tindakannya. Tapi melihat kerumunan laki-laki yang terus menatap dirinya, ia jadi memikirkan hal lain. Alhasil, ia menulis sesuatu di atas kertas. Ia tak pandai merangkai kata, maka sebagai gantinya Sabiya menuliskan sebuah ayat yang berisi tentang saling memaafkan.

Kini ia tersenyum, matanya kembali fokus pada Haidar yang sedang sibuk. Ia sedang membuat proposal kerjasama bisnis untuk calon partner bisnis yang akan diajak kolaborasi untuk merealisasikan ide pembuatan rumah produksi kaos dakwah. Orderan yang menumpuk akhir-akhir ini membuat tim produksi rumahan kewalahan. Haidar perlu menambah jumlah pegawai dan memperluas area produksi. Oleh karena itu ia berpikir untuk mengembangkan bisnisnya jadi rumah produksi yang bisa menghasilkan lebih banyak lagi kaosnya.

Kata Haidar, proposal itu harus segera jadi besok pagi. Padahal akhir-akhir ini ia sedang disibukkan dengan kasus Pak Haryo di pengadilan. Sabiya tahu kalau suaminya itu sudah bekerja terlalu keras. Tak heran kalau malam begini, ia tak bisa bermanja-manja sambil membaca buku dengannya.

"Kamu capek, mi?" tanya Haidar secara tiba-tiba. Membuat Sabiya terkejut.

"Sudah jam... sepuluh. Mau tidur dulu?"

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang