[5] Jatuh Cintanya Sabiya

27.7K 2K 43
                                    

"Cinta, sebuah nama yang sulit dipahami, tetapi begitu kuat menggelayut di hati."
-Ibnul Qoyyim-

🌷🌷🌷

SABIYA sibuk menyumpal telinganya dengan headset, ia sedang hikmat mendengarkan murrotal sembari membaca buku Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri.

Buku Sirah Nabawiyah yang coba ia baca dengan tekun adalah salah satu bukti keseriusannya dalam mempelajari sejarah nabi dan sahabiyah. Ia sadar betapa minim pengetahuannya tentang Islam. Ia tak mau jadi muslim yang tidak tahu apapun. Mempelajari sejarah penting, sebab kita bisa belajar agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Pun, kita bisa belajar bagaimana Rasulullah menjadikan Islam sebagai aturan hidup sehingga tercipta Islam rahmatan lil alamin; Islam rahmat bagi seluruh alam.

Sementara, mendengarkan murrotal yang diselingi membaca buku adalah kebiasaan yang ia dapat ketika ia masih di Mesir dulu.

Ketika Shaikh Mishary Rashid Alafasy, qory favoritnya sampai pada surah Ar-Rahman, Sabiya berhenti membaca. Matanya menutup sejenak seolah ingin menikmatinya lebih dalam. Diam-diam, ia mengingat salah satu surat yang pernah ia buat untuk seorang tetangga apartemennya dulu.

Kepada Shareef Dzikri Abdullah,

Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barokatuh

Kak, mohon maaf jika surat ini mengganggu. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin kuceritakan kepadamu. Namun kata-kata itu seperti tertinggal di kerongkonganku.

Aku masih ingat kali pertama kita bertemu, waktu itu aku baru pindah dari Indonesia. Mahasiswa semester awal sepertiku tentu harus punya pemandu untuk membimbingku saat di negeri orang. Mungkin mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam komunitas di Mesir sudah cukup membantu juga, namun saat aku bertemu denganmu di metro dan tak sengaja mengobrol banyak denganmu, aku sudah merasakan sesuatu. Lebih-lebih ternyata kita adalah tetangga satu apartemen. Untuk kali pertama aku senang bukan main, dan sejak itu kamu jadi andalanku. Meski kamu selalu bilang,

Aku menganggapmu adikku. Tapi tolong kita tetap menjaga adab ketika berkomunikasi. Aku takut fitnah.

Aku semakin kagum dan menyukai prinsip yang kamu pegang erat itu, Kak.

Aku menghargaimu, maka aku menjaga jarak. Namun tak bisa kupungkiri, bahwa aku selalu berusaha agar bisa dekat denganmu bagaimanapun caranya.

Ah, aku naif sekali. Ternyata ketergantungan dan kekagumanku padamu berbuah cinta.

Bolehkah kamu mengijinkan aku untuk mencintaimu, Kak Shareef?

Sabiya tersenyum. Ia menutup wajahnya dengan buku. Rasa malu itu seperti baru kemarin ia alami. Ia sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kak Shareef; pemuda dari Brunei Darussalam yang sangat memegang teguh ajaran agama itu jika sampai tahu perasaannya. Beruntung waktu itu Sabiya mengurungkan keinginannya untuk memberikan surat itu pada Kak Shareef sebab masih mengingat nasehat yang selalu diberikan oleh Ibu.

'Perempuan itu dihargai karena ia menghargai dirinya. Tak apa jika kamu jatuh cinta, Sabiya. Tapi tolong, jangan kamu ungkapkan cinta sebelum ia resmi jadi suamimu. Jadilah mulia seperti Fatimah binti Muhammad, yang meskipun ia begitu kagum dan jatuh cinta pada Ali, ia tetap menyimpan perasaannya untuk diri sendiri, sampai tiba saat yang tepat.'

Ia tersenyum kembali. Kelabatan memori itu terus berputar-putar. Rasa-rasanya baru kemarin ia menginjakkan kakinya di Mesir. Merasakan indah dan pahitnya hidup di negeri orang. Meski ia selalu bersyukur bahwa dia diberi nikmat bisa kuliah di Mesir dan lebih-lebih ia dipertemukan dengan Kak Shareef. Laki-laki itu sedikit banyak mengubah banyak kebiasaan buruk Sabiya saat masih SMA.

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang