[18] Mencari Tahu Bag.2

15.1K 1.5K 30
                                    

"Kadang masa lalu adalah belenggu masa depan. Maka lupakan. Sebab untuk bisa terus melangkah kita harus terus bergerak."

🌷🌷🌷



"JADI apa rencanamu ke depan, Sabiya?" Ustadzah Hulya tersenyum. Menatap mata Sabiya yang sendu.

Di meja yang berada di depan mereka, telah tersaji dua gelas teh hangat dan makanan kecil seadanya. Seorang pekerja sekolah yang mengantar beberapa menit lalu.

Ustadzah Hulya beberapa kali menyuruh Sabiya mencicipi, namun bagi Sabiya, yang lebih menarik adalah mendengar petuah-petuah hebat dari perempuan bermata bulat itu.

"Kalau terkait ta'arufku dengan Ustadz Haidar, biar Allah dan waktu yang menjadi petunjuk bagaimana akhirnya. Tapi...."

"Tapi? Kenapa, Bi? Ada yang mengganjal pikiranmu?"

Rona wajah Sabiya berubah mendung. Perempuan berwajah manis itu ingin mengatakan sesuatu. Namun hatinya ragu.

"Cerita saja kalau kamu mau, Biya."

"Ah, enggak apa-apa, Mbak. Sabiya hanya merasakan sesuatu yang entah kenapa membuat hati Sabiya resah dan tidak tenang."

"Terkadang keresahan muncul bukan hanya karena masalah itu, namun justru karena kita tidak membaginya pada orang lain. Sehingga ini..." Ustadzah Hulya menunjuk dadanya, "terasa sangat sesak."

Sabiya diam. Ia sebenarnya ingin cerita tentang segala yang menjadi kecambuk hatinya saat ini. Namun hatinya merasa bahwa ini bukanlah saat yang tepat.

"Sabiya...." Ustadzah Hulya menyentuh lengan Sabiya dengan lembut. "Cerita saja. Bukankah di Mesir juga begitu. Kamu nggak malu-malu kan untuk cerita?"

Sabiya tersenyum, ia malu sendiri pada Ustadzah Hulya. Dia ingat, dulu saat Nuriye sedang sibuk-sibuknya dengan tesis, ia rela panas-panasan berjalan kaki dan desak-desakan naik metro demi agar bisa bercerita dengan Ustadzah Hulya. Bagi Sabiya, Ustadzah Hulya adalah orangtuanya di Mesir. Sebagai sesama orang Indonesia, dan juga tetangga dekat, terkadang ia lebih membuat nyaman daripada siapapun.

"Sebenarnya, Sabiya ada satu pertanyaan yang mengganjal."

"Pertanyaan apa, Bi?" Ustadzah Hulya penasaran.

"Ada seorang laki-laki yang mengajukan proposal ta'aruf kepada seorang gadis, namun karena kegalauannya akibat masa lalu yang dilaluinya, ia tidak membalas apapun. Bahkan terkesan mengabaikannya." Sabiya menghela napas. "Di lain waktu, seorang laki-laki yang shalih datang menemui Ayah si gadis ini untuk melamar. Laki-laki ini jauh lebih jelas permohonannya, jauh lebih jelas visi misi pernikahannya. Apakah... jika gadis ini justru mengiyakan permohonan laki-laki kedua, ia telah berdosa? Apakah ini juga termasuk lamaran di atas lamaran, Mbak?"

Ustadzah Hulya tersenyum. Ia mengangguk-angguk. Ia tahu arah pembicaraan Sabiya. Dulu, ketika di Mesir ia sering mendengar cerita Sabiya. Gadis berperangai lembut itu sedang membicarakan dirinya sendiri. Entah berapa kali gadis itu bercerita tentang seseorang yang dikaguminya. Ustadzah Hulya tahu, bahwa cinta Sabiya memang sudah sedalam itu.

"Sabiya... kalau yang kamu bilang bahwa laki-laki kedua telah melakukan lamaran di atas lamaran, tentu itu tidak termasuk ke dalamnya," katanya. "Kamu tahu, seberapa banyak pun laki-laki mengirim proposal ta'aruf kepada seorang peremupuan, saat dia tidak menemui wali si perempuan untuk menyampaikan maksudnya, maka itu bukan lamaran. Jika si perempuan ini menerima laki-laki kedua karena ia lebih dulu menemui si wali, maka itu sah-sah saja. Insya Allah tidak berdosa. Hanya saja sebagai etika yang baik, seharusnya perempuan ini menyampaikan penolakannya terhadap laki-laki pertama. Sampaikan kondisi yang sebenarnya. Begitu juga sebaliknya, sampaikan kondisi yang sebenar-benarnya kepada laki-laki kedua saat masa perkenalan. Bagaimana pun, kejujuran meski pahit harus disampaikan sedini mungkin. Untuk meminimalisir kesalahpahaman."

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang