[32] Penasaran

11.4K 1.1K 25
                                    

PAGI-PAGI sekali seperti biasa, Ustman bin Affan sudah ramai oleh aktifitas para santri. Sudah ada penambahan tiga santri sekaligus begitu Haidar dan Gio keluar dari pesantren mahasiswa itu. Hal ini disyukuri sebab artinya kos mahasiswa itu tetap ramai. Meskipun akan berbeda jika Haidar dan Gio masih ada di sana.

Di balai, ramai-ramai santri mengaji, melakukan murojaah hafalan setelah halaqoh mingguan selesai.

Setelah Haidar tidak lagi menjabat sebagai Abi kos, sekarang Ammar lah yang menjadi penanggung jawab. Hasil rapat dan kesepakatan menyatakan setuju untuk mengangkat Ammar menjadi Abi kos. Meski amanah ini menurut Ammar cukup berat. Tapi ia yakin bahwa amanah tak akan salah memilih pundak. Allah lah yang menentukan takdirnya. Maka ia berusaha semaksimal mungkin menjadi yang terbaik. Terutama menjadi qudwah yang baik untuk para santri.

Di suasana subuh yang belum tersentuh sinar matahari, para santri sibuk merapalkan dzikir kepada Allah. Melangitkan doa, memohon ampun atas kesalahan yang telah dilakukan kemarin. Memohon dikuatkan dan dijaga untuk hari ini dan esok hari.

Ammar duduk di pinggir balai. Di bawah jendela yang terbuka lebar. Tubuhnya menempel pada dinding yang terbuat dari bambu. Dengan pakaian sederhana dan peci putih yang tersemat di kepalanya, ia khusuk membaca deretan ayat dalam Al-Qur'an. Tiap ayat yang ia baca ia hayati dengan sepenuh hati. Terkadang, ia menangis begitu sampai pada ayat yang menceritakan tentang keadaan penghuni neraka. Hatinya bergetar. Sungguh ia tak mau menjadi salah seorang hamba Allah yang hianat lantas dimasukan ke neraka. Maka sebisa mungkin ia selalu berdoa, berusaha yang terbaik untuk taat pada syariat.

"Shodaqollahul 'adziim."

Ammar memejamkan mata begitu tilawah satu juznya subuh itu bisa ia selesaikan dengan baik. Ia cium mushaf kesayangannya. Lalu memutar tubuhnya menghadap para santri yang lain. Mengamati satu persatu santri yang sedang sibuk bermuajahah dengan Allah. Ada yang bibirnya sibuk berdzikir, ada yang bibirnya sibuk melantunkan dan memurojaah hafalannya, dan ada juga yang tertidur. Menenggelamkan kepalanya ke dada.

Ammar tersenyum. Lalu ia bangkit. Ingin membangunkan beberapa santri yang tertidur. Dengan gerakan cepat sekaligus lembut, ia menepuk pundak satu persatu santri yang terkantuk-kantuk. Ia juga meminta kepada para santri lain untuk bersiap-siap mengerjakan kegiatan lain. Karena matahari sudah kelihatan. Artinya, aktifitas harian tidak boleh terlambat.

Meniru kebiasaan Haidar, ia menyempatkan juga untuk mengingatkan para santri yang bertugas memasak dan membersihkan lingkungan kos.

"Mas Ammar, sudah dapat kabar belum dari Mas Haidar?" kata Haikal, teman satu kamarnya. Ia adalah mahasiswa semester 3 yang sudah ia anggap seperti adik kandung sendiri. Selain rajin dan sholih, ia juga seorang hafidz. Lulusan pesantren dari Sumatra. Tak heran kalau ia juga termasuk yang dekat dengan Haidar. Karena sama-sama lulusan pesantren.

"Kabar apa?"

"Tentang kasus Sarah dan Pak Haryo yang dibuka kembali."

"Kasus pembunuhan Pak Haryo maksud kamu, Kal?"

"Bukan hanya itu. Kabarnya, kasus ini akan digelar dari awal lagi. Dari pemerkosaan Sarah hingga pembunuhan Pak Haryo yang berakhir tragis. Bukankah hal yang cukup ganjil Mas, Pak Haryo ditemukan terbunuh di ruang selnya sendiri tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya. Bahkan ada yang bilang, tidak ada makanan yang masuk tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Jadi kemungkinan Pak Haryo keracunan kecil sekali. Maka pembunuhan berencana sudah pasti dilakukan. Sayangnya belum ada tanda-tanda pelakunya. Tapi karena keluarga Bima memiliki sangkut paut atas kasus Sarah dan keluarganya, maka keluarga Bima lah yang kena getah. Sekarang kasus ini jadi perbincangan publik, Mas. Sudah mulai bermunculan juga di surat kabar, media massa dan media sosial. Oleh karena itu Mas Haidar mengusulkan untuk membuka kembali perkara ini. Agar hasilnya tidak abu-abu lagi."

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang