[15] Jawaban Sabiya

17K 1.6K 63
                                    

"Menikahlah dengan ia yang menjanjikan hidup bahagia di surga, bukan hanya di dunia saja."

🌷🌷🌷

"JADI, dia yang malamarku?" gumam Sabiya.

Ia kembali menegakkan tubuhnya setelah beberapa kali bergerak hanya untuk melihat lebih jelas siapa pelamarnya. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Tiba-tiba saja ia merasa gugup.

Laki-laki dengan koko putih yang datang bersama Bang Rois itu pernah dibuat celaka oleh tangannya. Meski dia ingat bahwa dia pernah meminta maaf dengan mengirim sebuah kue kepadanya, namun tetap saja ia tak menyangka bahwa ia lah orangnya. Ini di luar ekspektasinya. Ia pikir, yang akan melamarnya adalah seseorang yang dikenalnya. Atau minimal yang pernah ia ketahui dengan baik asal usulnya. Sekarang Haidar di depan matanya. Ia bingung harus bagaimana. Dalam hati terdalamnya ia bertanya-tanya, sebenarnya pemuda seperti apa Haidar itu?

"Nama antum Haidar, betul?" tanya Ustadz Nurrokhman kepada Haidar.

Haidar mengangguk. "Betul. Nama saya Haidar, Ustadz. Haidar Al-Ghifari."

"Kita sering ketemu di kajian setiap hari apa? Saya sering lihat antum kayaknya, ya?"

"Benar, Ustadz. Kita memang sering bertemu. Seringnya di kajian masjid kampus IPB setiap selasa sore."

"Sebentar, sebentar. Biar saya ingat-ingat," kata Ustadz Nurrokhman. "Innalillah, antum mas'ul Fakultas Matematika dua tahun lalu? Dan salah satu Ustadz di SMPIT As-Salam? Yang dulu pernah Sabiya cederai?"

Haidar mengangguk. Ia tersenyum sedikit kikuk. Sabiya yang mendengarnya pun malu mendengar pertanyaan dari ayahnya.

Dulu saat menjabat sebagai mas'ul, ia ingat bahwa ia pernah rela menembus hujan lebat malam-malam sehabis isya hanya karena ingin meminta bantuan Ustadz Nurrokhman untuk mengisi acara seminar Fakultas yang diadakan LDF nya. Pemateri yang qadarullah mendapat musibah saat di perjalanan membuat acara terhambat. Padahal acara tinggal besoknya. Maka dengan penuh tanggung jawab ia menaiki motornya menuju rumah Ustadz Nurrokhman untuk memintanya mengisi acara yang bertemakan Pemuda Hijrah itu.

Ada beberapa kenangan lain yang berhubungan dengan Ustadz Nurrokhman. Bagi Haidar, beliau salah satu idolanya. Kalau pun Ustadz Nurrokhman tidak terlalu mengenalnya tidak jadi masalah. Bagi Haidar itu wajar. Sebab Ustadz Nurrokhman punya banyak kegiatan dan santri yang harus dikenalnya. Yang paling penting, setidaknya beliau tidak melupakan wajah Haidar. Begitulah yang ada di benaknya.

Hari ini ia sendiri bahkan tak percaya, bahwa ternyata gadis yang sempat menggetarkan hatinya saat ia menerima surat dan kue permohonan maaf itu adalah gadis yang sama seperti yang ia harapkan saat Bang Rois menceritakan tentang gadis mahasiswa Mesir. Berbagai perasaan campur aduk dalam hatinya. Ia ingin mengatakan bahwa ia merasa beruntung. Sebab gadis seperti Sabiya lah yang sesungguhnya ia harapkan untuk menjadi istrinya.

"Itu artinya antum sudah lulus, ya?" tanya Ustadz Nurrokhman membuat Haidar salah tingkah. Ia malu.

Ia menggeleng pelan. "Belum, Ustadz. Saya belum lulus."

"Lho kenapa belum lulus?"

"Haidar ini salah satu pemuda langka, Ustadz," tukas Bang Rois. "Dia ini punya cita-cita nggak bakal lulus kalau belum nikah sebelum wisuda." Bang Rois terkekeh. Ia menepuk pundak Haidar.

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang