Jadi benar, pernyataan rasamu hanya ilusi dari bahagiaku saat bersamamu, tidak nyata.
🕛Cɪʀᴄʟᴇ OғTɪᴍᴇ🕛
Suasana koridor di jam istirahat memang sama saja di setiap sekolah, murid-murid terlihat berjalan cepat bersama teman-teman mereka menuju kantin, seraya bercerita berbagai macam hal.
Riska melangkah cepat menuju taman belakang sekolah, sesekali tersenyum membayangkan ekspresi senang yang pastinya terukir di wajah lelaki itu. Ia beberapa kali melihat ke arah kantong plastik di tangannya.
Sebuah kantong plastik putih yang ingin ia berikan spesial pada seseorang yang telah berhasil membuat hatinya jatuh.
🔢🎨🔢
Langkah kaki dari beberapa orang terlihat berjalan ke arah taman belakang sekolah. Membiarkan rumputnya ikut ribut berbincang dengan sepatu-sepatu yang entah apa tujuannya melangkah ke sana.
"Gua mau ngomong serius sama lo."
Langkah Afdah dan ketiga temannya terhenti tepat di depan seseorang yang sedang fokus melukis.
Ucapan serius Afdah, nyatanya hanya dianggap angin lalu oleh seseorang yang sedang serius melukis di sana. Lukisan seorang wanita paruh baya yang hampir jadi itu, jadi fokus utama Kevin saat ini.
Senyum Kevin sesekali mengembang tenang sembari menatap ke arah lukisannya. Mendengar decakan kesal dari orang di depannya, Kevin akhirnya sedikit tersadar bahwa ia tidak hanya berdua dengan orang dalam lukisannya, ia akhirnya beralih melirik sekilas ke arah Afdah. "Itu tadi kamu udah ngomong sama saya."
Afdah kembali diam memejamkan matanya beberapa detik, menahan kekesalannya. Entah kenapa emosi lelaki itu benar-benar tersulut. Ia merasa sifat Kevin selama ini hanya sandiwara, mungkin untuk menarik perhatian orang lain, bisa saja ia hanya bersikap licik selama ini. "Kan? Lu liat semua kan? Emang nih orang tuh selama ini cuma kamuflase doang!"
"Saya gak ngerasa punya masalah sama kalian." Kevin melanjutkan lukisannya dengan santai, tidak ingin peduli kalau ada orang lain di sini. Toh, inilah tujuannya dia selalu berada di sini saat istirahat, ingin menikmati saat berdua, dengan wanita dalam lukisan itu.
Kesal melihat Kevin masih fokus melukis, salah satu dari mereka menghempas kuas lukis di tangannya. "Masalah lo banyak ama temen gua, bro."
Kevin mengembuskan napas pelan, beralih menatap tepat ke arah Afdah yang berada tepat di depannya. "Terus kalian ini terhitung himpunan gabungan? Masalah sama satu orang yang datang rombongan."
"Emang yang gak punya temen mah gak tau rasanya ikut ngebelain temen yang ada masalah." Seorang lelaki dengan rambut ikal ikut menimpali, tetapi Kevin tetap tahu balasan terbaiknya.
"Seenggaknya yang gak punya teman itu bisa selesaiin masalah sendiri, tanpa harus rombongan kayak orang yang gak punya nyali."
"Gue tau lo tau. Gak usah muter topik trus berlagak sok pinter, kita sering ketemu di satu perlombaan antar sekolah, pastinya lo sadar kalo gue dari dulu satu sekolah sama dia." Napasnya memburu, tidak bisa lagi menahan kekesalan, merasa usahanya yang hampir berhasil mendekati perempuan yang ia suka sejak dulu, lagi-lagi berantakan karena ada peran ketiga oleh Kevin.
Tangan Afdah terkepal kuat, bersiap meluapkan emosinya kalau saja orang di depannya masih terlihat pura-pura tidak dengar.
"Terus?" Kevin justru bertanya dengan tenang, ia masih fokus membersihkan noda-noda kecil di lukisannya yang hampir jadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Circle Of Time [Completed]
RomanceMeraih 3 kategori dalam lomba 'Write Your Story Challenge 1' diadakan oleh @wpdorm (2017) : 🎉 Juara 3 🎉 Juara favorit 1 🎉 Juara favorit 2 🔢🎨🔢 [This story has been revised] Kevin memang tidak sespesial laki-laki di dunia fiksi. Pianis sekolah...