Suara ketukan pulpen yang diperbuat oleh tangannya sendiri seolah masih tidak bisa menyadarkannya. Riska masih larut dalam lamunannya, memikirkan penjelasan apa yang bisa ia katakan pada Kevin besok.
"Maaf, saya ganggu."
Riska seketika memejamkan matanya dalam-dalam, entah kenapa kata-kata Kevin membuat rasa sesak seketika kembali menguar dalam perasaannya.
"Bentar ...." Vano melirik ke arah Riska dan Kevin secara bergantian. Sengaja ingin memperjelas hubungannya di hadapan seseorang yang mungkin belum tahu. "Ris, kamu dorong keras aku ... gara-gara ada dia? Emang ... kalian ada hubungan apa?" Vano memberikan tatapan tanya seolah tidak tahu apa-apa.
Ingin rasanya Riska menarik Vano keluar dari sini sekarang. Namun sepertinya lelaki itu terlihat menikmati peran antagonis yang sedang ia lakoni sekarang. Riska mengembuskan napas kasar mendengar pertanyaan lelaki itu.
"Ng-nggak. Aku ... gak enak aja, dia yang punya kamar, masa' dia yang minta maaf." Riska menunduk mengatakannya, tidak berani membalas tatapan Kevin yang ia tahu pasti lelaki itu juga sedang menatapnya.
Senyum terukir lembut di bibir Vano, menyadari Riska secara tidak langsung masih menyadari hubungannya. "Oh gitu. Aku hampir aja mikir yang nggak-nggak tadi."
Tetap hening setelahnya. Perempuan itu tetap menunduk dipenuhi perasaan bersalah.
"Kamu masih mau di sini? Atau mau sekalian aku antar pulang?" Vano beralih menatap Riska. sementara perempuan itu terlihat bingung, kemudian ia memilih mengiyakannya saja, mungkin saat ini ia lebih baik pulang dulu sebelum semuanya menjadi lebih rumit.
"Pulang dulu ya, Kev?" Riska memaksakan senyumnya, berusaha terlihat sebiasa mungkin. Sementara Vano menundukkan sedikit kepalanya sembari tersenyum, menunjukkan kesopanannya dalam berpamitan.
Kevin hanya tersenyum tipis sejak tadi, bahkan sampai Riska dan Vano keluar, ia masih terdiam memperhatikan pintu.
Getaran di ponselnya seketika membuyarkan semua lamunannya. Melihat uname si penghubung, membuat Riska seketika memikirkan alasan terbaiknya.
Setelah cukup beberapa detik dan merasa alasannya sudah cukup baik, ia menerima telepon itu, dan segera tancap gas mengutarakan alasannya.
"Tadi aku cuma kaget pas di rumah sakit jadi milih bareng pulang sama Vano dan gak bisa bareng kamu lagi di sana dan yang sebelumnya itu cuma salah paham doang itu Vano lagi ngambil sesuatu dan tiba-tiba kamu datang dan ngira dia lagi meluk."
Tarikan napas Riska terdengar sangat keras. "Jadi ... semuanya cuma salah paham kok."
Hening beberapa detik.
Tawa lelaki itu seketika terdengar keras di seberang telepon. "Iya-iya biasa aja, Ris."
Riska terdiam setelahnya. Ia bingung apa harus senang karena Kevin memakluminya secepat itu, atau sedih karena ternyata ia tidak cemburu sama sekali?
"T-terus ... lo ... ngapain nelpon?"
Lagi-lagi lelaki itu tertawa. "Udah bagus tadi pake aku-kamu."
Riska kembali meringis malu mengingatnya, ia sampai lupa bahwa kebiasaannya dengan Kevin masih berbicara dengan gue-lo.
"Gak tau, Ris. Saya lagi pengen aja ngobrol-ngobrol sama kamu."
Hening setelahnya. Entah kenapa terasa canggung kali ini. Riska masih tidak berani mengatakan apa-apa, bahkan Kevin juga hanya diam, entah kenapa.
Ada detak yang menggebu dari diri keduanya, ingin disuarakan namun takut.
"Kamu ...." Ucapan Kevin terdengar menggantung, jelas membuat Riska cukup bingung, biasanya lelaki itu akan mengatakan apa yang dia ingin katakan, namun entah kenapa kali ini terdengar banyak pertimbangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Circle Of Time [Completed]
RomanceMeraih 3 kategori dalam lomba 'Write Your Story Challenge 1' diadakan oleh @wpdorm (2017) : 🎉 Juara 3 🎉 Juara favorit 1 🎉 Juara favorit 2 🔢🎨🔢 [This story has been revised] Kevin memang tidak sespesial laki-laki di dunia fiksi. Pianis sekolah...