Setelah beberapa jam tertidur di dalam sebuah kamar klinik di sekolahnya, jemari lelaki itu bergerak perlahan, membuat Riska seketika terbangun karena merasakan pergerakan itu.
"Ris ... telfon taxi deh, balik ke rumah sakit."
Perempuan itu mengangguk cepat, menunggu ucapan selanjutnya dari lelaki itu. Menyadari tenaga kesehatan sekolah hanya mengira ini efek lelah saja, hingga tidak ada peralatan khusus yang dipasang saat ini. Riska memilih mengiyakan. Ia kemudian membantu lelaki itu bangun dari posisinya.
Ada gurat sendu di wajah perempuan itu, menyadari segala gejala yang dialami Kevin membuatnya bisa memvonis lelaki itu memiliki penyakit serius. Namun ia memilih diam, tak ingin menanyakan kebenarannya langsung pada Kevin.
🔢🎨🔢
"Apa?! Pasien Multiple Sclerosis dibolehin keluar jalan-jalan?"
Vano tak habis pikir dengan penuturan ibu dari pasien yang sedang keluar itu. Ia terlihat frustasi sendiri. Tujuan utamanya datang ke sini adalah untuk berbincang-bincang dengan seseorang yang sejak dulu diceritakan oleh Riska.
"Kok Riska gak sadar sih?" Namun ia dibuat tidak percaya dengan semua yang terjadi. Belum lagi dengan obat-obat tambahan yang diberikan pada pasien tersebut agar meminimalisir kambuhnya.
"Awalnya saya juga kurang ngerti sih, habisnya dia maksa minta obat untuk minimalisir pengaruh sakitnya buat satu hari." Dela—ibu pasien—berusaha menjelaskan.
"Iya tapi itu efek sampingnya berat, Bu." Vano memilih duduk di sebuah kursi-kursi panjang di luar kamar, terlihat frustasi sendiri dengan pemikirannya.
🔢🎨🔢
"Berhenti sini, Pak."
Riska sontak menatap heran ke arah seseorang di sampingnya. Tatapan Kevin terlihat berfokus ke arah tempat penyewaan sepeda keliling di sana.
"Kita sepedaan aja yuk, Ris. Itu di depan toko sepeda punya om saya."
Belum sempat Riska mengatakan apa-apa, lelaki itu sudah berjalan cepat ke arah sepeda-sepeda itu.
Percayalah, Riska sangat ingin menentangnya mengingat ia belum tahu pasti penyakit yang diderita Kevin, namun setelah melihat senyum di wajah lelaki itu, rasanya ia tidak berani menghancurkan keinginannya.
Riska memilih mengikuti langkah Kevin. Ralat, ia terlihat berlari mengikutinya. Ia tertegun beberapa detik, ini membuatnya deja vu, teringat saat ia pertama kali bertemu Kevin di luar sekolah, berlari bersama.
Lelaki itu justru terlihat panik, ia meringis pelan. Bukan apanya, berurusan dengan orang mabuk itu lebih sulit daripada dengan orang yang sadar.
"Mending kita lari, Ris!"
Kenangan yang sangat indah. Riska terdiam beberapa detik sembari memperhatikan Kevin yang tengah memilih sepeda-sepeda di sana. Ada sadar yang seketika memenuhi perasaannya, membuat sesal semakin terasa di pikirannya.
Ke mana saja Riska selama masa SMA-nya? Apa sesulit itu untuk menyadari ada seseorang yang sangat berharga baginya? Kenapa pula baru sekarang ia menyadarinya? Bahkan di saat waktu sudah merubah semua keadaannya sekarang.
"Ayo, Ris." Binar tatapan yang disertai senyum tulus dari lelaki itu seketika membuat butiran air menetes pelan dari pelupuk mata Riska.
Riska mengusap pelan air matanya. Ia mulai menyadari betapa baiknya sang pemilik semesta yang memberinya kesempatan kedua untuk bertemu lelaki ini, kembali mendengar suaranya, dan ucapan-ucapannya yang seolah ingin membuka setiap kotak kejutan yang belum pernah dibuka sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Circle Of Time [Completed]
RomanceMeraih 3 kategori dalam lomba 'Write Your Story Challenge 1' diadakan oleh @wpdorm (2017) : 🎉 Juara 3 🎉 Juara favorit 1 🎉 Juara favorit 2 🔢🎨🔢 [This story has been revised] Kevin memang tidak sespesial laki-laki di dunia fiksi. Pianis sekolah...