Waktu Telah Tiba

201 7 0
                                    

Hari pernikahan telah tiba. Pernikahan Aya dan Rama diadakan di rumah Aya. Rumah yang sepi dekorasi itu seketika menjadi ramai dengan berbagai dekorasi pernikahan. Aya tengah dirias di dalam kamarnya. Ia merasakan keraguan yang amat besar, hingga tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Sang ibu masuk ke dalam kamar Aya untuk memastikan kesiapan putrinya. Ibunya tersenyum melihat putrinya yang menggunakan pakaian adat jawa dengan kerudung yang membuatnya semakin cantik.

"Kamu cantik sekali, Nduk. Rama pasti makin suka sama kamu!" puji ibunya. Aya pun tersenyum. Namun, senyuman itu bukanlah senyuman yang tulus, melainkan senyum paksa. Tapi, sang ibu tak menyadari itu.

Mempelai pria telah tiba di tempat. Ia terlihat sudah siap, meskipun sesungguhnya ia sangatlah tegang. Rama pun mencoba mempraktikkan ucapan ijab kabul.

"Saya terima nikahnya Siti Cahaya binti Cahyadi dengan seperangkat... argh! Salah!" Rama terlihat frustasi dengan sendirinya. Tapi, ia mencoba untuk kembali tenang. Beberapa saat kemudian, semuanya telah siap. Penghulu telah datang, dan Aya juga sudah ada di samping Rama. Pria itu terpesona melihat kecantikan Aya. Rama jadi semakin cinta dengan Aya. Namun, ada apa dengan gadis itu? Ia sama sekali tak tersenyum. Gadis itu tampak seperti orang yang sedang bermuram durja. Rama jadi berpikir, apa gadis itu meragukannya? Ataukah, gadis itu sama sekali tak mencintainya? Atau, apakah Rama terlalu buru-buru? Rama pun berkata kepada Aya.

"Kalau kamu ragu melanjutkan pernikahan ini, masih ada waktu untuk membatalkannya," gumam Rama. Gadis itu menyadari, kenapa dirinya sangat egois? Kenapa dia harus begitu bersedih di hari yang membahagiakan bagi semua orang? Tak seharusnya ia mengharapkan kasih dari Rendy. Tak sepantasnya ia mengharapkan keajaiban kehadiran Rendy di tempat ini. Seharusnya, ia bersyukur bisa menikah dengan pria sebaik Rama.

Aya pun tersenyum kepada pria itu, dan berkata.

"Nggak, aku nggak akan berubah pikiran. Aku cuma ngerasa gugup. Maaf, karena udah bikin kamu khawatir," sahut Aya dengan senyuman yang terlihat tulus. Ia yakin, bahwa dirinya akan bahagia dengan pria yang diinginkan oleh kedua orang tuanya. Meskipun ia harus mengorbankan perasaannya. Aya berharap, Rama tak menyadari akan kesedihan hatinya. Jika Rama sampai tahu, sudah pasti pria itu akan sangat sakit hati karena telah diberi harapan kosong oleh gadis yang dicintai, dan Aya pasti akan diceraikan oleh Rama.

Rama menjabat tangan Ayah Aya di hadapannya. Ia juga sudah memegang mic untuk ijab kabul ini.

"Saya nikahkan ananda Ramadhan Malik bin Abidin dengan anak saya, adinda Siti Cahaya binti Cahyadi dengan seperangkat alat shalat, dibayar tunai," ucap Ayah Aya. Rama pun menarik napas panjang agar bisa tenang.

"Saya terima nikahnya Siti Cahaya binti Cahyadi dengan seperangkat alat shalat, dibayar tunai!" seru Rama. Ia sangat lega bisa mengucapkan itu dengan lancar. Penghulu pun bertanya kepada semua saksi dengan menggunakan mic.

"Bagaimana? Sah?" tanyanya, semua orang pun menjawab.

"Sah!" seru semua saksi yang ada di sana. Aya tersenyum, ia yakin bahwa keputusannya sudah tepat. Ia merasa sudah tak pantas lagi untuk menyesali keputusannya meskipun ia sama sekali tak mencintai Rama.

Aya dan Rama pun menghampiri kedua orang tua Aya. Mereka tersenyum dengan penuh haru. Aya menghampiri ayahnya terlebih dahulu. Ia melakukan sungkem sembari menangis.

"Maafin Aya, Yah. Selama ini, Aya banyak sekali salah. Aya seringkali membuat ayah marah dan kecewa kepada Aya. Aya benar-benar minta maaf..." gumam Aya sembari menangis di pangkuan ayahnya. Sang ayah tampak berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tapi, pada akhirnya ia gagal menahannya.

"Ayah juga minta maaf jika ayah terlalu keras mendidikmu. Semua itu ayah lakukan agar kamu ndak tersesat..." ucap sang ayah. Selesai sungkem kepada ayahnya, Aya juga melakukan hal yang sama kepada ibunya. Sedangkan Rama, ia sungkem kepada ayah Aya. Ibunya pun berpesan kepada Aya.

"Ibu minta sama kamu, Nduk. Kamu harus bisa menjaga rumah tanggamu dengan Rama. Jadilah istri yang baik untuk Rama dengan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri, tanpa adanya keterpaksaan," itulah pesan ibunya. Aya mengangguk dan menghapus air matanya. Ia pun tersenyum dan berkata.

"InsyaAllah, Bu," sahut Aya. Sedangkan Ayah Aya memberi pesan kepada Rama.

"Jadilah imam yang baik untuk keluarga kecilmu. Jangan sampai kamu melenceng, hingga menyesatkan seluruh keluarga kecilmu, Le," pesan Ayah Aya. Rama pun tersenyum.

"InsyaAllah, Yah. Saya boleh kan manggil bapak dengan sebutan 'ayah' seperti Aya?" tanya pria itu. Ayah Aya pun mengangguk.

"Tentu, Le," sahut Ayah Aya. Rama pun tersenyum sembari menghapus air matanya. Pria itu juga melakukan sungkem kepada Ibu Aya. Ibu wanita itu pun juga memberi pesan padanya.

"Tolong, Le. Kamu harus bisa membahagiakan Aya. Jangan biarkan air mata kesedihan mengalir dari matanya," pesan ibu Aya. Pria itu pun tersenyum dengan penuh haru.

"InsyaAllah, Bu..." sahut Rama. Mereka pun beralih melakukan sungkem kepada orang tua Rama, dan melaksanakan beberapa adat di hari tu.

*****

Di malam harinya, Aya dan Rama tinggal di rumah Rama sendiri yang sederhana. Sedangkan orang tua Rama, mereka langsung pulang begitu acara telah selesai. Karena, orang tua Rama tak mau mengganggu pasangan itu. Aya terlihat bingung sekali. Ia tidak siap untuk melakukan hubungan intim antara suami istri seperti layaknya pasangan pada umumnya. Ia masih belum bisa memberikan kehormatannya ini kepada pria yang tidak ia cintai. Aya masih belum melepas semua pakaiannya karena ia masih tidak siap. Ia mencari-cari cara agar ia tak melakukannya, tanpa harus membuat Rama marah.

Pria itu pun masuk kamar. Ia sangat heran melihat wanita yang baru saja ia nikahi itu masih berpakaian lengkap.

"Lho, kenapa, Ay?" tanya Rama. Aya menggelengkan kepalanya.

"Nggak apa-apa, Mas. Hanya saja..."  Aya bingung. Bagaimana harus mengatakannya?

"Aku belum siap, Mas. Jadi... apa mas nggak marah kalau aku nyuruh Mas Rama tidur di kamar sebelah?" tanya Aya dengan sedikit perasaan takut. Ia takut mengecewakan orang yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Rama sedikit terkejut mendengar pertanyaan Aya. Ia terdiam untuk sesaat. Tapi, beberapa saat kemudian, Rama pun tersenyum.

"Nggak apa-apa. Aku tahu kok kalau kamu masih belum siap," ucap pria itu. Rama segera mengambil bantal dan guling. Setelah itu, ia pindah ke kamar sebelah. Sesungguhnya, ia sedikit kecewa dengan permintaan Aya. Tapi, di sisi lain, ia juga memahami posisi Aya. Ia tak bisa memaksakan kehendaknya kepada wanita itu...

***** TBC *****

Chapter-chapter kemarin udah diprivate ya. Bagi yang belum follow, silakan follow dulu ^^

Chapter ini sengaja nggak diprivate. Karena mulai chapter ini-end bakal aku private acak.

Terus dukung story ini ya ^^

Jodoh Yang DiingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang