Merindukanmu

73 4 0
                                    

Aya berdiam diri di dalam kamarnya. Dia hanya memandangi kembang api malam tahun baru dari dalam jendela kamarnya. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Dia merasa gundah, kenapa ia tak bisa merayakan meriahnya perayaan tahun baru seperti orang lain? Mereka merayakannya bersama orang-orang tersayang. Ada yang merayakannya bersama keluarganya, ada yang bersama sahabatnya, ada juga yang bersama kekasihnya. Tapi, kenapa ia hanya sendiri? Kenapa ia tak bisa seperti orang lain? Kenapa ia bisa merasa hampa?

Aya merasa hampa tanpa kehadiran Rendy, ia sangat merindukan sosok pria itu. Aya benar-benar sudah gila. Ia tak bisa melepaskan bayang-bayang Rendy dari otaknya sedetikpun. Bagaimana ini? Sampai kapan Aya harus hidup tanpa Rendy? Bagaimana jika ia harus menikah dengan orang selain Rendy? Ia bahkan tak sanggup membayangkan hal ini. Kenapa Rendy bisa masuk ke dalam kehidupannya sedalam ini? Kenapa?

Aya dikejutkan dengan suara kembang api yang begitu meriah. Kembang api yang ia lihat itu sangatlah indah dan menawan. Aya kembali melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 00.00 WIB. Aya pun tersenyum.

"Selamat Tahun Baru, Rendy..."

*****

1 years later

Hari ini, Aya pulang ke rumahnya. Yaitu, Jakarta. Ia akhirnya memutuskan untuk pulang karena sangat merindukan kedua orang tuanya yang sudah satu tahun tak bertemu.

"Bagaimana, Nduk? Ndak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Bude Ani. Aya tersenyum dan mengangguk.

"Ya sudah, Bude. Aya pamit dulu," ucap Aya. Ia mencium tangan Bude Ani. Bude Ani tampak sangat terharu, ia tersenyum kepada Aya.

"Assalamu'alaikum," ucap Aya. Ia pun segera pergi dari rumah itu, dan berangt menuju stasiun.

Sampai di stasiun, Aya menunggu kereta datang. Lalu, beberapa menit kemudian kereta yang ditunggupun datang. Ia segera masuk, dan mencari tempat duduk.

Aya melihat seorang pemuda tampan berwajah sedikit mirip dengan pria Arab yang sedang asyik membaca buku, disertai dengan alisnya yang tebal, hidung mancung, bibir yang kemerahan. Pria itu terlihat tampan, mungkin umurnya sama dengan Rendy.

Di depan pria itu, terdapat kursi kosong. Hanya itu kursi yang kosong, tak ada lagi. Aya segera menghampiri pemuda itu.

"Boleh duduk di sini?" tanya Aya kepada pemuda itu. Pemuda itu mengalihkan pandangannya dari buku itu untuk melihat Aya. Pemuda itu pun tersenyum.

"Iya, silakan saja," pria itu mempersilakan Aya duduk di depannya. Lantas, Aya pun segera duduk dan memandangi pemandangan dari jendela. Sedangkan pria itu, ia tampak mengingat-ingat sesuatu.

"Apa kamu perempuan yang ketemu sama aku satu tahun yang lalu? Saat di masjid dekat UI," ucap pria itu. Aya terpaksa menoleh ke arah pria itu, ia bahkan tak ingat dengan pria itu.

"Maaf, aku nggak ingat," sahut Aya. Ia kembali menatap jendela. Sedangkan pria itu, ia tampak masih menatap Aya karena masihpenasaran dengan gadis itu. Namun, pria itu akhirnya menyerah.

"Yah... mungkin aku memang salah orang," ucap pria itu. Aya tak begitu menggubris pemuda itu. Bagi Aya, pemuda itu terlalu banyak bicara. Ia menngenalkan dirinya tanpa diminta oleh Aya.

"Kenalin, namaku Ramadhan Malik. Panggil aja Rama. Umurku dua puluh tiga tahun. Nama kamu siapa?" tanya pria itu. Aya melihat, pria itu tak mengulurkan tangannya seperti pria pada umumnya jika berkenalan dengan orang lain. Aya pun menjawab dengan singkat.

"Siti Cahaya, panggil aja Aya," sahut Aya. Ia kembali menatap pemandangan dari jendela, namun pria itu kembali mengusik dirinya.

"Boleh minta nomor teleponnya nggak?" tanya Rama kepada Aya. Aya sangat jengkel. Namun, mau tidak mau ia harus menghargai pria itu. Sebab, kalau bukan karena Rama, dia tidak akan mungkin bisa duduk. Aya pun terpaksa memberitahu nomor teleponnya kepada pria itu. Namun, pria itu justru semakin membuat Aya kesal.

"Sekalian deh, aku minta alamat rumah kamu juga," kata pria itu sembari tersenyum. Aya sudah merasa sangat kesal, ia mengambil napas panjang dan mendengus. Namun, ia tetap memberitahu alamat rumahnya. Karena menurut Aya, pria itu hanyalah basa-basi. Mana mungkin pria itu berani pergi ke rumah Aya jika ayahnya seringkali ada di rumah?

"Tapi, ayahku ada di rumah terus, lho. Ayahku nggak suka kalau ada cowok nggak dikenal main ke rumah," ucap Aya. Sejujurnya ia berbohong, karena pada kenyataannya, ayahnya tak pernah melarang siapapun main ke rumahnya. Hanya saja, jika ada pria yang datang ke rumahnya, ia harus selalu tahu batasannya. Namun, Rama justru menjawab.

"Nggak apa-apa. Toh, aku nggak berniat apa-apa, kok. Aku cuma mau ngobrol banyak sama kamu dan juga orang tua kamu. Dan, aku juga nggak akan langsung datang ke rumah kamu hari ini juga. Aku akan datang kapanpun, sesuai dengan keinginan hatiku," sahut pria itu. Ia tersenyum. Sedangkan Aya, ia justru merasa muak. Ia merasa keputusannya memberi tahu alamatnya kepada pria itu salah.

Beberapa saat kemudian, adzan dhuhur berkumandang. Pria itu segera meletakkan buku 'Mahatma Gandhi' itu ke dalam tasnya. Setelah itu, Rama segera melakukan tayamum. Setelah selesai, pria itu langsung menghadap kiblat untuk melaksanakan shalat dhuhur. Melihat pria itu, Aya sedikit merasa salut. Bagaimana tidak? Seringkali, Aya melihat bahwa kebanyakan orang lebih memilih untuk tidak melaksanakan shalat ketika sedang dalam perjalanan dengan alasan tidak tahu harus melaksanakan shalat di mana. Dan alasan lainnya, karena mereka merasa malu jika ada orang yang memandangi mereka jika melaksanakan shalat di berbagai tempat.

Tapi, Rama seolah-olah tak peduli dengan semua itu. Ia dengan nyamannya melaksanakan shalat dengan menghadap kiblat tanpa beranjak dari tempat duduknya. Sekali lagi, ia teringat dengan Rendy.

"Coba aja kalau Rendy bisa kayak cowok ini..."

****** TBC *****

Jodoh Yang DiingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang