Melisa

191 4 0
                                    

2003

Rama, Aya, dan anak mereka yang bernama Ayana datang ke rumah orang tua Aya. Di sana, mereka tengah bersedih. Karena, Ayah Aya jatuh sakit sejak dua bulan terakhir.

"Ayah, kita ke rumah sakit, ya?" tanya Aya dengan lirih. Sejujurnya, Aya sudah tidak kuat melihat ayahnya yang seperti ini. Namun, ayahnya menolak.

"Ndak perlu, Nduk... sudah waktunya ayah nyusul ibu kamu," gumam Ayah Aya sembari tersenyum menatap putrinya. Sedangkan Ayana terlihat menangis sesenggukan. Ia sangat tidak ingin kehilangan kakeknya yang sangat ia sayangi.

"Kakek mau ke mana? Kakek jangan pergi..." pinta Ayana dengan tangisnya yang begitu memilukan. Melihat cucunya, sang kakek pun tersenyum.

"Ayana jangan nangis. Kakek harus menyusul nenek..." ujarnya. Ia pun berpesan kepada cucunya.

"Nduk, kamu harus nurut sama perintah orang tuamu. Kamu harus jadi anak yang sholeha. Dan juga, bahagiakan orang tuamu, Nduk..." pinta Ayah Aya kepada cucunya. Ayana pun menganggukkan kepalanya dengan berlinang air mata.

Beberapa saat kemudian, Ayah Aya pun mengucapkan kalimat.

"La ilaha illallah..." Ayah Aya terus mengucapkan kalimat itu, hingga ia menutup mata untuk selama-lamanya...

*****

2004

Aya kembali melahirkan seorang bayi perempuan. Ia memberi nama bayi itu Melisa. Tentu saja Ayana sangat senang ketika melihat sang adik telah lahir di dunia.

"Hore...! Adek udah lahir!" Ayana berteriak dengan penuh kebahagiaan. Rama dan Aya tersenyum melihat tingkah anaknya.

Rama menggendong Melisa dengan penuh kasih sayang. Ia memerhatikan bayi berwajah cantik itu. Matanya mirip dengannya, hidungnya mirip sekali dengan Aya, dan bibirnya juga persis dengan Rama. Pria itu terlihat sedang mengajak bayinya itu bercanda. Lalu, Ayana menghampiri Rama.

"Yah, aku boleh nggak cium adek?" tanya Ayana dengan raut wajah memelasnya yang terlihat sangat imut.

"Boleh, Sayang," sahut Rama. Pria itu pun tersenyum, dan meletakkan Melisa di ranjang rumah sakit. Karena Ayana tidak bisa meraih adiknya, Rama pun menggendong Ayana, agar gadis kecil itu bisa mencium sang adik.

"Dek, kalau udah besar, kamu harus rajin shalat, rajin mengaji, dan juga harus baik sama semua orang. Nggak boleh nakal, pokoknya harus nurut sama orang tua," ujar Ayana sembari memegangi tangan kecil sang adik. Mendengar yang dikatakan oleh Ayana, Rama dan Aya saling berpandangan dan tersenyum. Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa memberi nasehat seperti itu kepada adiknya?

*****

"Itulah ceritanya, Nak. Sekarang udah nggak penasaran lagi, kan?" tanya Aya sembari tersenyum dengan tegar mengingat almarhum Rama. Sedangkan Ayana dan Melisa terlihat meneteskan air mata mendengarkan cerita Aya. Wanita itu pun merangkul kedua anak gadisnya.

"Yana, Lisa, ayah emang udah nggak bersama kita lagi. Tapi, ayah sedang mengawasi kita dari atas. Jadi, kita nggak boleh sedih. Kita harus tetap semangat dalam menjalani hidup..." ujar Aya. Melisa berkata kepada ibunya.

"Bu, sebenarnya pada saat ayah masih ada, ayah pernah nasehatin aku dan Kak Yana," ujar Melisa yang disertai anggukan dari Ayana.

"Oh ya? Nasehat apa?" tanya Aya. Melisa pun mulai menceritakan kenangannya bersama Rama...

*****

2016

Zaman telah berganti menjadi semakin modern. Aya dan Rama sudah tak muda lagi. Namun, mereka tetap terlihat cantik dan juga tampan. Kedua anak gadis mereka pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang begitu cantik.

Mereka semua sedang makan malam bersama di meja makan besar. Melisa merasakan perutnya terasa sakit dan sangat nyeri. Dia pun berkata kepada ayah dan ibunya.

"Yah, Ma, aku ke toilet dulu, ya," ujarnya. Orang tuanya menganggukan kepala. Melisa pun segera pergi ke kamar mandi. Ia merasakan ada benjolan di bagian kanan sebelah atas perut. Ya, benjolan itu sudah ada lebih dari seminggu lalu. Tapi, Melisa tak begitu khawatir. Ia sudah biasa merasakan sakit seperti ini.

Melisa pun kembali lagi dengan wajahnya yang lebih pucat. Tentu saja kedua orang tuanya khawatir.

"Masih sakit, Mel? Ayo, kita ke dokter," ajak Aya. Namun, Melisa menolaknya.

"Nggak deh, Bu. Palingan juga penyakit biasa," bantah Melisa dengan senyuman.

"Mel, jangan meremehkan penyakit. Nanti kalau sakitmu tambah parah gimana? Sebelum terlambat, lebih baik periksa sekarang," ucap Rama. Ayana pun menyetujui perkataan kedua orang tuanya.

"Benar, tuh!" seru Ayana. Ia juga mengkhawatirkan adiknya. Namun, ia tidak ingin menunjukkan rasa khawatir itu kepada adiknya.

Memang benar yang dikatakan oleh seluruh keluarganya. Tapi, Melisa merasa itu tidak perlu. Karena, itu bukanlah masalah yang serius bagi Melisa...

***** TBC *****

Jodoh Yang DiingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang