27. Belajar

826 107 4
                                    

"2 kamar atas nama Kim Jongin."

Pemesanan online yang dilakukan Psikiater Kim, membuat segala proses check in hotel menjadi mudah. Soojung berdiri dekat pintu utama sambil sesekali melirik Jongin yang berinteraksi dengan pegawai hotel.

Barang bawaan mereka tidak terlalu banyak. Bahkan bisa dibilang sedikit. 1 buah tas ransel dan 1 buah tas selempang yang biasa dibawa dengan dijunjung. Barang bawaan tersebut sudah di taruh oleh bellboy di sebuah trolly khusus luggage.

Menunggu kiranya 10 menit kini proses check in telah selesai. Jongin memanggil Soojung dengan isyarat yang dilakukan tangannya, agar wanita itu mendekat.

"Kamar no. 306 dan 307." Ucap Kim Jongin sopan, terhadap bellboy. Sedangkan si lawan bicara menangguk tanda mengiyakan.

Mereka berdua masuk ke dalam lift. Memencet lantai kamar hotel mereka berdua. Lift beroperasi dengan kecepatan sepersekian detik.

Jongin memimpin jalan untuk mencari letak kamar mereka. Yang ternyata ditemukan dekat tangga darurat. Mereka telah sampai di depan kamar masing-masing diikuti bellboy dibelakang mereka yang barusan datang.

"Jam 2 siang, mari bertemu di lobby." Suara Jongin terdengar, saat sebelum ia memasuki kamarnya.

.

Walaupun sepertinya Soojung tampak acuh karena kedatangannya ke Mapo, wanita itu merasa gusar. Hatinya terasa seperti dipukul berulang kali. Ada perasaan was-was dalam hatinya.

"Kita akan kemana Psikiater Kim?" Soojung bertanya seraya mengembalikan hoodie merah tadi ke pemilik.

"Ke rumah lamamu." Bukannya menerima, malah Jongin menaruh jaket itu pada tangan Soojung.

"Aku tidak ikut." Kini jaket itu sudah berpindah-pindah 3 kali.

"Kau harus ikut. Dan pakai jaket ini!" Psikiater Kim berucap sedikit memaksa. Hal ini bukan tanpa alasan. Memang udara sedang semi-semi dingin. Kaus panjang saja tidak cukup membendung udara.

Dengan malas, Soojung memakai jaket merah itu kembali. Perpaduan antara rambutnya yang diikat kuda poni, hoodie merah kebesaran serta celana jeans sangat cocok di tubuhnya.

"Aku merasa khawatir." Tangan wanita itu ia cengkram kuat-kuat di hoodie yang ia pakai.

"Apa yang menjadi beban di otakmu? Bukankah aku selalu ada menjamin keselamatanmu?"

"Bukan begitu ta-"
Belum melanjutkan, omongan Soojung sudah dipotong duluan.

"Kita bahkan sudah pergi lebih dari 3 kali. Dan tidak semua laki-laki seperti ayah tirimu. "
Penekanan pada 2 kata terakhir benar-benar merambat menjalar ke ulu hati si lawan bicara.

Jongin yang sebelumnya menghadap ke jalanan kini beralih mengunci pandangan pada wanita di depannya.
"Kau tau mengapa kau tak pernah sembuh dari penyakit ini?"

Lelaki itu diam sebentar.

"Karena kau tidak mau memaafkan. Masalahmu kau pendam hingga kini menjadi satu dengan urat nadimu."

Soojung benar-benar dibuat skakmat atas ucapan Kim Jongin.

.

Wanita itu tak terbiasa menaiki bis, karena biasanya bis tak mungkin sepi penumpang, kecuali saat dini hari. Walaupun ada taxi di kota, tetapi hal itu cukup jarang mengingat daerah yang mereka duduki adalah half rural.

Kedua orang itu kini memasuki bis setelah sekitar 5 menit menunggu di halte. Bis tak terlalu ramai, sehingga mereka berdua bisa duduk cukup leluasa. Ada 2 tempat duduk depan belakang yang kosong. Jongin mengisyaratkan Soojung untuk duduk di depannya. Ia merasa perlu melalukan itu, untuk menjaga jarak dengan pasiennya. Kursi yang seharusnya dibagi untuk 2 orang Jongin gunakan sendiri.

Androphobia | kaistalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang